Posts Tagged tuhan

Ketetapan-Nya

Delapan tahun silam, ketika saya masih mengenakan seragam putih abu, semangat untuk memasuki bangku kuliah begitu menggebu. Tentu, karena sudah menjadi tren, kedokteran dan insinyur menjadi prioritas utama. Kalau di Kota Bandung, Institut Teknologi Bandung seolah menjadi hadiah terindah bagi orang tua kita. Saya pun begitu. Maka, segera saja memantapkan hati untuk masuk ke Teknik Sipil ITB.

Mendadak suasana sekolah menjadi relijius. Ada siswa yang setiap pagi bertafakur di masjid selepas shalat duha, ada pengajian bersama dan ceramah keagamaan yang kerap mengundang tangis histeris para siswi. Saya pun bagian dari suasana itu. Bagaimana lagi. Dalam setiap kebutuhan tentu kita akan lebih dekat kepada Tuhan.

Sayangnya gaung tidak bersambut. Mahalnya biaya ujian saringan masuk mandiri, migrain yang diakibatkan les tambahan siang malam, doa-doa dan tekad kuat di dalam hati ternyata tidak menyebabkan saya bisa mempersembahkan ITB sebagai hadiah bagi orang tua.

Saya sempat kecewa tapi tidak larut dalam penderitaan. Toh di saat kegagalan itu, saya diterima pada sebuah perguruan tinggi swasta di daerah Dayeuhkolot. Bagi saya, biaya di sana mahal. Tapi melihat prospek jurusan teknik, sepertinya biaya kuliah bisa diganti dikala kerja kelak.

Tidak disangka-sangka, ada kejadian luar biasa yang membuat kondisi keuangan keluarga morat-marit. Biaya lima juta satu semester menjadi beban yang memilukan. Syukurnya, di bulan kedua masa kuliah, saya diterima di Sekolah Tinggi Akutansi Negara. Hanya Diploma I. Saya meremehkan dan orang tua pun menjadi bimbang. Tapi ini jalan yang harus dipilih agar dapur tetap mengepul.

***

Dalam setiap kegagalan. Setiap kondisi yang tidak sesuai ekspektasi. Kita pasti kecewa. Merasa Tuhan tidak adil dan memaksa-Nya dalam doa agar mengabulkan kondisi yang kita inginkan. Manusia yang begitu kecil kadang terlalu sombong dan dungu untuk memaksakan apa yang mereka kira pantas bagi dirinya. Kalau semua orang bisa meraih harapan sesuai amalnya mengapa kita selalu menganggil-Nya Maha Besar?

Ibnu Athaíllah As-Sakandari pernah memberi nasihat singkat: Alangkah bodohnya orang yang menghendaki sesuatu terjadi pada waktu yang tidak dikehendaki-Nya. Alangkah bodoh saya yang memaksa untuk masuk ITB padahal tidak dibarengi kemampuan otak. Alangkah bodoh saya jika memaska membayar lima juta satu semester jika harus menghabiskan tabungan keluarga. Alangkah bodoh saya jika menolak Diploma I padahal itu adalah yang dikehendaki-Nya.

Begitu juga gelombang kekecewaan yang melanda ketika saya tidak diterima Diploma III Akuntansi Khusus di ujian yang pertama dan kedua. Bisa jadi ada banyak manfaat bagi orang sekitar jika saya tetap bekerja dibanding kuliah dengan potongan gaji yang membuat hidup menjadi ‘cukup’.

Kini saya yakin, akan selalu ada rahasia dibalik setiap kekecewaan. Lebih baik hidup mengalir dan menerima qadarnya dengan tunduk. Berbahagia dengan setiap episode yang diberikanNya kepada kita. Daripada berkeluhkesah dan mengotori hati  dengan sesal.

Ferry Fadillah. Kelan, 10 Juni 2017


 

, ,

1 Comment

Kamu Dimana

Aku termenung pada sebuah ayunan berkarat di pinggiran taman pantai. Waktu itu waktu menunjukan pukul lima sore. Langit mendung bukan main. Angin menerpa pohon kelapa hingga nyaris runtuh. Aku menengadah ke langit. Sesekali memejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam.

Dimanakah Dia? Aku melihat ke kiri dan ke kanan. Hanya ada segerombolan turis udik yang mengabadikan pemandangan sore itu dengan gawai buatan cina. Di hadapanku hanya ada kapal nelayan yang memaksa mesin kapal agar segera menepi. Aku tidak melihat apa-apa lagi selain itu.

Beberapa bulan lalu, saat sedang dalam perjalanan kereta Bandung-Jakarta, aku melihat pemandangan alam yang luar biasa. Gunung-gunung dengan pohon hijau berikut sawah-sawah penduduk. Sungai mengalir begitu jernihnya memenuhi kebutuhan air masyarakat sekitar. Aku memejamkan mata, menghirup udara yang bercampur bau rokok kemudian membuka mata dan melihat lekat ke jendela. Kemana Dia, kenapa aku tidak juga menemukannya?

Hujan gerimis di bilangan Jakarta. Aku sendiri ditemani kopi hangat. Aromanya menenangkan jiwa. Kemudian aku memesan lagi satu gelas kopi dengan caramel dan kue belanda. Aku siapkan bunga mawar putih di sebelah hidangan itu. Waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Aku sudah menanti lebih dari lima jam. Namun, Dia tidak datang ke tempat itu. Memberi tahu kealpaannya saja tidak. Aku sangat kecewa.

Pada suatu titik, aku sudah bosan mencari dan menunggu. Aku berhenti berusaha.

Dalam sebuah perjalanan malam di taman kota. Aku membeli burger ukuran besar dengan saus tomat dan minuman dingin. Aku duduk pada sebuah bangku gaya kolonial dibawah lampu temaram. Malam itu sangat cerah. Aku melihat gugusan bintang yang bersinar terang. Lamat-lamat aku menikmati burger itu. Saat sibuk dengan kunyahan ke enam ada seorang pria tua melintas.

Umurnya sekitar enam puluhan. Wajahnya tampak kusam dengan rambut putih di kepala dan dagunya. Saat itu ia mengenakan kemeja biru dengan membawa tumpukan koran di dalam ransel selempangan. Mungkin penjual Koran, batinku. Tapi kenapa malam-malam begini.

Aku tegur bapak itu. Kebetulan ada kentang yang belum kumakan. Selagi hangat kutawari bapak itu. Semula ia menolak. Setelah aku berkeras, ia menerima dengan gurat senyum yang mengembang dari wajahnya. Ia menepuk pundakku tiga kali dan mengucapkan rasa terimakasih berulang-ulang.

Kentang itu mulai habis. Sang Bapak mulai bercerita pengalamannya. Semuanya adalah perjalanan pedih dan penuh luka. Aku tidak menyangka ada cerita seperti itu. Maklum, aku adalah seorang pejabat pada sebuah instansi pemerintah. Gajiku cukup untuk menghidupi anak, istri dan  investasi saham di perusahaan syariah. Tidak pernah terpikir olehku untuk hidup susah. Semua sudah tersedia dengan mudah.

Hari makin malam, bapak itu terus bercerita. Tentang istri yang meninggalkannya karena kemiskinan. Tentang teman kantornya yang menipunya ratusan juta rupiah. Tentang rumahnya yang disita pengadilan negeri. Tentang penyakitnya yang sebentar lagi merengut satu-satunya harta: jiwanya.

Aku merasa iba namun tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa berkata iya dan menganggukan kepala. Sesekali aku harus membetulkan letak kacamata. Air yang menggenang pada mata membuat posisinya selalu tidak mengenakan. Dalam hati aku bersyukur, sangat bersyukur, bahwa hidupku jauh lebih beruntung. Aku tidak mau melupakan momen ini. Aku harus banyak berbagi dan berbicara dengan orang yang kurang beruntung.

Bapak itu pun akhirnya pergi meninggalkanku. Saat itu sudah pukul sebelas malam. Jalanan sudah sepi. Dan hanya ada Aku di taman. Aku memejamkan mata. Menghirup udara dalam-dalam dan lekas melihat lekat ke udara, “Engkau! Ah, disana rupanya selama ini..”

Ferry Fadillah. Kuta, Maret 2017.

,

2 Comments

Pertanyaan

Akankah kita tahu:

rahasia terdalam palung lautan, dan

misteri terluas alam semesta.

Pernahkah kita berpikir :

Diri yang dicampakan begitu saja,

setelah meninggalkan firdaus

bersama sang iblis yang membangkang.

 

Agamawan hanya beretorika:

membela dzat yang bahkan belum pernah mereka jumpa

dengan cerita ngeri neraka dan macam siksaan.

Manusia dibuat bertekuk lutut.

 

Kalau akal memang ciptaan-Nya

Kenapa harus ada hukuman bagi pertanyaan?

 

Kalau hanya Maha Baik bagi nama-Nya

Kenapa permohonan Sang Iblis dikabulkannya?

 

Kalau hanya Ar-Rahman bagi nama-Nya

Kenapa harus neraka tercipta?

 

Kalau hanya Al-Qudus bagi nama-Nya

Kenapa sifat jahat terbenam dalam jiwa manusia?

 

Kalau harus ada si kafir yang masuk neraka

Kenapa kita harus tercipta?

 

“Aku mengetahui apa-apa yang tidak engkau ketahui”, firman-Nya.

Hanya sujud sembah mencium tanah yang bisa kita lakukan

sedekat mungkin dengan unsur penciptaan: tanah

tempat awal sekaligus akhir

 Sambil cemas mengharap ampunan-Nya.

Ferry Fadillah, Priangan, September 2015.

, ,

Leave a comment

Sudah Benar Agama Kita ?

“Jembatan menuju…”

Masih perlukah kita beragama ? ber-Tuhan ?

Agama-, agama, agama.

Inikah biang keladi permusuhan bani adam di muka bumi. Kalau iya, mengapa masih saja orang memegang teguh agama, bahkan dengan gigi geraham mereka ?

Tuhan.

Pernah kita tahu rupanya ? pernah kah kita berfikir bahwa Tuhan yang kita sembah benar-benar Tuhan Semesta Alam, the real God/Gods ?

Seorang kawan berpendapat, “Dasar sesat! Untuk apa kau tanya semua itu, kerjakan saja perintah Agamamu dengan sebaik-baiknya. Agama itu untuk dikerjakan, bukan diperdebatkan!”

Ya setuju, namun langkah awal kita sebagai makhluk ber-akal adalah mengkritisi (dalam arti positif) agama terlebih dahulu, ketika semuanya bisa kita cerna dengan paripurna, dapat kita terima dengan ketebalan tekad, baru kita laksanakan segala ajaran yang ada di dalamnya dengan sadar dan tanpa paksaan dari hal apapun.

Jangan sampai keyakinan kita, malah menuntun kita ke jalan yang salah.

Karena hidup hanya sekali.

, , , , ,

Leave a comment

Kebebasan dan Pertimbangannya

“Bebas!”

Era Informasi, keterbukaan, semua bebas beropini, semauanya, konstruktif maupun destruktif. Orang gegap gempita manyambut era ini, namun saya cemas, begitu banyak informasi yang masuk ke otak saya, mempengaruhi saya, mereka melebihi kapasitas otak saya, saya takut menjadi mesin-yang berjalan atas kuasa di luar dirinya.

Menjamur karya-karya populer yang menjual ide-ide kebebasan. Kebebasan dalam menentukan takdir, pekerjaan, gaya hidup, pasangan hidup atau pandangan hidup. Semuanya saya rekam dengan baik dalam otak saya. Satu ide dengan ide lain ada yang berkolerasi, banyak pula yang kontradiksi, bahkan kontraproduktif.

Saya ingin menjadi, apa ia saya akan menjadi. Apa ia manusia punya keinginan ? jika ia, apa benar itu keinginan murni dari diri kita, atau utopia sesaat karena informasi yang baru saja kita dengar. Passion ? saya dengar kata asing itu, dan saya setuju jika kita bekerja/hidup dengan passion maka kita akan merasakan kebebasan itu. Bekerja/hidup tanpa paksaan sepadan dengan kebebasan bukan ?

Suatu ketika saya mengkaji ulang ide-ide mengenai kebebasan ini. Apa saya harus menjadi manusia bebas ? Berkarir sesuai keinginan ? Menyepak segala batas-batas yang ada dalam budaya kita ?

Dalam hati saya menjawab, ya, saya ingin menjadi manusia bebas sebebas-bebasnya. Menjadi diri saya sejadi-jadinya. Bekerja sesuai minat saya sepuas-puasnya. Menyepak segala prasangka orang tentang saya. Namun saya sadar, saya manusia, saya hamba, saya mikro, saya inferior dibanding semesta yang begitu luas ini.

“Apa yang baik menurutmu, belum tentu baik bagimu, bisa jadi apa yang kamu anggap buruk, itu baik bagimu”

Kalimat itu terus terngiang dalam telinga saya. Itu kata-kata Tuhan ! Setelah itu saya tertunduk, bahwa saya banyak kekurangan, saya makhluk !

Sejak itu saya hormati perasaan mereka yang mencintai saya. Mereka yang bangga dengan keadaan saya seperti ini. Tabu-tabu yang mengatur kehidupan orang-orang agar selaras dengan alam dan harmoni dengan pesan Tuhan. Firman-firman yang sepertinya mengekang, namun bermakna kasih sayang bagi para hamba.

Sebagai penutup, saya mengutip surat Kartini kepada Nona E.H. Zeehandelar pada tanggal 23 Agustus 1900 (dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Door Duisternis tot Licht, halaman 78, Penerbit Narasi)

“Saya akan memperjuangkan kebebasan saya. Saya mau stella, saya mau mendengarkan kamu ? bagaimana mungkin saya akan mendapat kalau saya tidak mencari ? Tanpa perjuangan tidak ada kemenangan. Saya akan berjuang stella. Saya ingin merebut kebebasan saya. Saya tidak gentar menghadapi keberatan dan kesulitan, saya merasa cukup kuat mengatasinya, tetapi ada sesuatu yang saya anggap sangat berat Stella. Saya telah berulang kali mengatakan kepadamu, bahwa saya amat sangat mencintai Ayah. Saya tidak tahu, apakah saya akan berani melanjutkan kemauan saya jika dengan perbuatan itu saya akan mematahkan hatinya yang berdetak penuh cinta kepada kami. Saya mencintai ayah saya yang telah tua dan beruban. Tua dan beruban karena memeras pikiran untuk kami, untuk saya. Dan kalau seorang dari kami berdua harus celaka juga, biarlah saya yang celaka. Juga disini tersembunyi sifat memikirkan diri sendiri, sebab saya tidak akan dapat berbahagia apabila untuk mendapat kebebasan, kemerdekaan dan bertegak sendiri itu akan membuat ayah celaka.”

 

Ferry Fadillah
Bali, 6 Mei 2012

, , , ,

Leave a comment

Bumi Tuhan di Maumere

Maumere, Nusa Tenggara Timur, daerah asing bagi saya, yang tidak pernah terpikir sebelumnya untuk dikunjungi. Namun Tuhan selalu punya rencana indah. Rabu, 2 Mei 2012 saya diberikan tugas memonitoring Kantor Bea dan Cukai di Maumere. Awalnya saya bingung, cemas, karena pesawat yang akan ditumpangi sejenis ATR, namun setelah googling dan melihat potensi wisata di kepulauan sunda kecil ini, hati saya perlahan tenang. ‘Setelah tugas selesai akan saya telusuri pesisir utara pulau ini’, bisik saya dalam hati.

Perjalanan memakan waktu 2 jam dari Banda Udara Ngurah Rai ke Bandara Udara Frans Seda. Cuaca cerah dengan dengan kecepatan angin rendah dan awan yang tipis, sehingga saya bisa jelas melihat deretan kepulauan sunda kecil yang indah dari angkasa.

Di pesawat sekumpulan bule tua begitu gaduh dan ndesoni, mungkin takjub, mengambil foto pemandangan di kiri dan kanan pesawat.

Lupakan pendaratan, lupakan pekerjaan, lupakan sepinya kota Maumere.

Kamis sore setelah selesai bekerja, saya diajak kepala kantor setempat menyusuri jalan di pesisir utara Kota Maumere. Dan silahkan anda saksikan sendiri keindahan di Bumi Tuhan ini. Terimakasih

“Penulis dengan pegawai KPPBC Tipe B Maumere”

, , , ,

14 Comments

Imajinasi menghadirkan Tuhan

"Imajinasi Tuhan dalam Materi"

Pertama, maafkan saya atas beribu libido yang tidak bisa saya kendalikan sehingga, tanpa mengurangi keagungan eksistensi Tuhan di dunia ini, saya dengan lancang melanggar tabu, norma dan kode sosial dalam kesendirian.

Pertanyaan saya sederhana : mengapa hasrat / libido sulit dikendalikan walaupun sel otak telah dipenuhi jutaan konsep, dogma dan ide mengenai dampak teologis dan sosial dari suatu perbuatan (terpuji/tercela)?

Setan/Iblis ? Terlalu jauh menurut saya untuk mengkambinghitamkan bangsa mereka. Bukankah pergolakan anatara akal dan hasrat terjadi di dalam diri kita sebagai subjek dan terlepas dari peran subjek (fisik/ghaib) lain dari luar diri kita ? Karena haikatnya : Diri kita (akal) adalah kuasa diri kita (subjek)

Herannya, dalam berbagai kasus kontemporer khususnya yang berkaitan dengan hasrat, dalam peperangan antara akal dan hasrat, hasrat sering mengalahkan akal. Wacana khilaf, kerasukan, mabuk dan seterusnya menjadi benteng terakhir untuk merasionalisasi kalahnya akal oleh hasrat ini.

Melihat lemahnya akal melawan hasrat, dalam seiap pertempuran tentu dibutuhkan senjata bagi akal untuk mengubah posisinya selama ini. Persoalannya adalah senjata apakah yang dapat membantu akal ? bentuknya, materikah atau non-materikah ?

Akal dalam persepsi umum tergolong unsur non-materi, abstrak, tidak terjabarkan. Maka yang non-materi seharusnya dipasangkan/dipadupadankan dengan yang non-materi. Lalu apa senjata non-materi itu ? Dalam sebuah konsep agama, kita mengenal kata IMAN, sebuah tanda yang terdiri dari 3 unsur yang saling dan harus sinergi : ucap, hati dan laku.

Saya berucap ‘saya percaya Tuhan’, Saya meyakini ‘Tuhan itu ada’ dan saya berlaku seolah-olah Tuhan itu mengawasi. Lalu korelasinya dengan pengendalian hasrat ? Perhatikan frasa ke-3 : saya berlaku seolah-olah Tuhan itu mengawasi. Ia hadir, walaupun dalam imajinasi kita, mengawasi, melihat tiap mm kehidupan kita sehingga kita malu melakukan perbuatan yang melanggar norma, agama atau tabu, dalam kata lain perbuatan yang memposisikan akal kita inferior dibanding hasrat.

Ia- kita hadirkan dalam imajinasi kita padahal Ia adalah exist/ada secara nyata namun Ia non-materi, tidak dapat terdefisinikan dalam dunia transenden, maka imajinasi kitalah satu-satunya alat untuk  ‘menghadirkan Tuhan’ dalam segala pergolakan hasrat dengan akal.

Imajinasi menghadirkan Tuhan kiranya senjata yang diperlukan itu.

Kab. Badung, 1 Mei 2012

sumber gambar : http://justinachilli.com/2011/01/04/oh-god/

, , ,

Leave a comment

Sang Renta

Deru sepeda motor terakhir berlalu dan menghilang di tengah kegelapan malam. Sang Dewi Bulan nampak lebih cantik dari hari-hari sebelumnya, ia tersipu malu, terselimuti awan hitam pekat dan gemintang yang semakin menambah cantik sekelilingnya.

Di sebuah rumah megah di bawah naungan Sang Bulan, hidup seorang renta yang dikenal amat shaleh. Lantunan kidungnya amat banyak dipuja-puji orang. Siapapun yang kebetulan mendengar lantunannya, akan terbuai dan terpana dalam kehusyuan mendalam akan kehadiran Tuhan.

“Malam yang indah, namun kenapa aku tiada mendengar lagi puja dan puji dari para pendengar yang dahulu setia”, sang renta shaleh berbicara dengan dirinya sendiri. Disaat yang bersamaan, seorang pengemis datang kerumah sang renta dengan mengetuk pintu terlebih dahulu.

Tapi apa cerita, ternyata sang renta menganggap itu tanda banhwa ada seseorang yang ingin mendengar lantunan kidungnya. Ia pun mulai menarik nafas dan melantun berlarut-larut. Satu ayat, dua ayar, ratusan ayat sampai ribuan ayat.

Diluar sana sang pengemis yang sudah kehabisan tenaga sudah tidak mampu lagi mengetuk dan merintih, karena semua sia-sia, tertutup oleh suara sang renta yang merdu dan kencang.

Hari makin larut, lantunan sang renta makin berlarut-larut. Namun bagi sang pengemis, lantunan itu tiada artinya, walau memuji Tuhan, walau menggentarkan hati, karena kini Tuhannya hanyalah Dia yang dapat memberi ia isi perut, Dia yang dapat memberi ia tempat berlindung, dan Dia yang dapat menghangatkan tubuhnya yang menggigil.

Hari makin gelap. Ayam jantan tiba-tiba berkokok, dan pada saat yang bersamaan sebuah jiwa telah berpulang ke dalam pangkuan Tuhan. Ia tersenyum lega, melihat bebasnya dari kurungannnya, seperti seekor burung yang dilepas sang pemiliknya. Kini ia paham mengapa lantunan pujian tadi tidak menggetarkan hatinya, karena Tuhan menjawab, “walaupun indah terdengar kidung pujian dari ia, namu Aku melihat noda keterikatan terhadap pujian dalam dirinya, sedangkan kau, Ikhlas dalam menjalani kehidupan, walau didera lapar dan kedinginan, dan kini aku datang sebagai Tuhanmu, yang memberi makan, tempat dan kehangatan ditempat yang abadi untuk selamanya”

Ferry Fadillah, 24 maret 2011

, ,

Leave a comment

Aku Ingin Menjadi, Tapi Malah Menjadi

Oleh FERRY FADILLAH

Aku terlahir dari keluarga yang biasa saja. Tapi begitu amat bersyukur karena dikaruniai seorang ayah yang amat ikhlas membanting tulang demi menghidupi keluarganya dan seorang ibu yang amat teguh dalam mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi insan yang berguna bagi agama dan bangsa. Hampir setiap hari kebutuhan kami dipenuhi secara pas-pasan, tidak lebih dan tidak kurang. Yang terkadang keadaan inilah yang membuat aku iri melihat orang bergelimang kemegahan berjalan angkuh di sudut-sudut Kota Bandung yang dingin dan indah itu.

Sepertinya semua anak laki-laki di bumi nusantara ini, terlebih mereka yang ditakdirkan untuk terlahir dari keluarga yang pas-pasan maupun serba kekurangan, pasti memiliki harapan untuk meringankan beban kedua orang tua. Ditanamkanlah cita-cita mereka semenjak kecil. Ingin menjadi dokter, ingin menjadi insinyur, ingin menjadi pramugara, ingin menjadi pilot, ingin menjadi pengusaha. Kelak harapan-harapan tersebut menjadi kisah emasnya di masa tua dan bagi sebagian orang harapan-harapan tersebut hanya akan menjadi isapan jempol belaka, karena keputusasaanya dalam menerima realita.

Mereka yang dikatakan sukses biasanya berjalan pongah di jalan-jalan kota, menebar harum parfum berharga jutaan dengan berjubahkan baju seharga kiloan emas. Sepatunya senantiasa berkilap dan diwajahnya tidak terlihat tanda-tanda kuyu maupun layu. Tapi mereka bekerja tidak sembarang bekerja, mereka bekerja sepenuh hati. Mencurahkan segala tenaga dan pikiran bagi pekerjaan mereka. Terkadang mereka terlantarkan buah hati dan istrinya untuk mengejar kesenangan dunia : harta. Tidak ada yang melarang memang, tapi hal ini terjadi begitu saja membuat anak dan istri yang ditinggalkan merasa kekurangan curahan kasih sayang dari seorang lelaki. Tidak jarang, kehidupan rumah tangga yang diikat tali suci  pernikahan harus mau menelan api ketidak akuran yang berujung pada perceraian. Dan anak-anaklah yang pada akhirnya menjadi korban.

Mereka yang dikatakan tidak sukses mudah sekali dideteksi oleh indera orang-orang awam. Tanpa melihat keanggunan pribadinya dan keikhlasan perjuangannya, mereka yang berbaju kusut, berwajah kusam, dan berbau ikan sepat selalu dianggap sebagai orang yang tidak sukses. Terlebih lagi jika curahan tenaga dan pikiran mereka  hanya mengasilkan harta yang pas untuk makan hari itu juga, tidak lebih dan tidak kurang. Sepertinya begitu menyulitkan memang, tapi tahukan bahwa dari kesulitan itu biasanya mereka tumbuh menjadi pribadi yang unggul. Mereka mempunya anak, dan mereka juga mempunyai waktu yang banyak bagi anaknya. Maka tidak salah jika anak-anak dari jiwa-jiwa yang selalu dilanda kesulitan akan lebih unggul dalam bidang akademik. Karena curahan kasih sayang orang tualah hal itu terjadi. Mau bukti ? lihat saja mereka yng sekarang dikenal sukses, banyak dari mereka yang dahulu berasal dari keluarga buruh tani, nelayan dan bahkan gelandangan.

***

Melihat keduanya, aku hanya mematung dan terdiam. Merenung sejenak, dan menerawang jauh ke masa depan yang tidak akan pernah aku ketahui. Tiba-tiba saja hembusan angin inspirasi datang menerpa otaku. Pengusaha! Ya, pengusaha. Aku putuskan menjadi pengusaha setelah melihat realita-realita kehidupan di atas. Aku mulai mencintai kehidupan menjadi pengusaha ini sejak SMA. Aku hampir sering terlibat dalam usaha kecil-kecilan ibuku dan mengamati hal penting se-saksama mungkin. Cara bicaranya, cara menarik hati consumer, cara menghitung keuntungan, dan cara menaikan harga.

Sebenarnya impian ini datang ketika aku mengetahui bahwa seorang pengusaha mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk memiliki penghasikan tetap tanpa bekerja sekalipun. Hal inilah yang aku idam-idamkan, bukankah dengan demikian aku bisa mencapai kemewahan dan tidak akan mengurangi sedikitpun curahan kasih sayang kepada istri dan anak tercinta kelak. Belum lagi junjungan ku, Nabi Muhammad adalah seorang pengusaha juga. Ia rajin, jujur, dan ramah. Hal ini lah yang membuatku begitu menggebu-gebu untuk menggeluti profesi ini.

Disaat SMA dulu, sangat besar keinginanku untuk menuntut ilmu di Institut Teknologi Bandung Fakultas Teknik Industri. Aku sangat haus akan ilmu itu, tentu saja karena ilmunya berhubungan dengan kewirausahaan. Sebuah gerbang baru menuju kebebasan finansial. Maka tidak heran, jika berjilid-jilid buku soal aku lahap, berlembar-lembar kata motivasi aku santap, hanya demi duduk di sebuah tempat kuliah bergengsi tersebut. Sampai tiba saat yang ditunggu datang. SNMPTN.

Soal  demi soal aku kerjakan. Keringat bercucuran memenuhi pelipis kanan dan kiri, membasahi kerah dan nyaris jatuh ke Lembar Jawab Komputer. Ruwet, pusing, ngejelimet, lalieur. Itulah serangkaian kata yang menggambarkan soal-soal SNMPTN. Dan kekhawatiran selama mengerjakan itu telah menjadi kekhawatiran ku pula ketika waktu pengumuman tiba. Tidak jauh firasat dari buktinya. Mau dikata apa lagi, tidak satu pun dari pilihan ku dalam SNMPTN yang goal. Semuanya amblas, blas, terbang ke awang-awang dan menutupi cahaya harapan yang sudah lama aku bangun.

Untung saja aku sudah jauh-jauh hari mendaftarkan diri ke sekolah teknik swasta di kota bandung. Dengan fakultas yang sama, tapi kurang gregetnya. Aku pun mendapati mahasiswa yang senasib sepenanggungan disana, terlihat dalam wajah-wajah lelah mereka : pesimis akibat kekalahan di medan perang. Memang sarana dan prasarana yang ada begitu memukai. Tapi ada satu permasalah klasik : mahalnya biaya pendidikan.

Sialnya lagi pada saat yang bersamaan aku harus rela melihat ayah kandung ku sendiri ditimpa musibah. Bukan musibah yang merenggut nyawa tapi musibah yang tidak dapat aku ceritakan disini. Yang pasti hal tersebut telah mengguncang sendi-sendi perekonomian keluarga. Dalam kata lain, dari pas-pasan menjadi serba kekuarangan.

Perlahan demi perlahan impianku untuk menjadi pengusaha tertimbun pasir-pasir keadaan yang begitu memaksa. Realita yang begitu pahit untuk dikemukakan tetapi begitu harus dihadapi dengan gagah berani. Dengan serba kekurangan mana bisa seorang manusia berkuliah di tempat wah dengan biaya pendidikan yang mewah. Dengan serba kekurangan mana bisa seorang manusia membuat sebuah usaha yang dapat menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Semuanya pupus, urung niat ku menjadi pengusaha.

God always have his own way. Begitulah orang-orang bijak bilang, meskipun aku tidak terlalu paham betul apa maksudnya. Tapi dua minggu setelah kegetiran melanda hati ku ini, sebuah pengumuman berformat pdf telah membuatku terenyuh dan menyadari kasih sayang Tuhan. Ya, pada saat itu aku diterima di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Sekolah yang mewajibkan lulusannya bekerja di lingkungan kementrian keuangan ini telah menjamin biaya pendidikan semua mahasiswanya. Kabar ini pun terdengar ibuku, air matanya keluar dari wajahnya yang masih halus.

“Nak katanya kamu mau jadi pengusaha, sekarang kamu diterima di STAN, mana yang mau kamu pilih ?”, tuturnya dengan wajah penuh haru.

“STAN aja, mah. Biar bisa lebih hemat pengeluaran mamah”, jawabku dengan nada sedikit kurang ikhlas. Terpaksa keadaan.

Padahal sedari dulu aku tidak begitu menginginkan pekerjaan menjadi PNS. Karena aku tidak menemukan kebebasan, setiap hari terpatok oleh Peraturan, Keputusan, Undang-undang, SOP dan lain sebagainya. Memusingkan dan menuakan hidupku dalam ketidak bebasan. Belum lagi pendapat orang-orang mengenai profesi ini, korupsi lah, suka bolos lah, celamitan duit lah. Tapi ya ini lah nasib. Dan aku pun mau tidak mau harus memulainya, menjadi bibit-bibit PNS yang nantinya dipekerjakan sebagai buruh di kebun-kebun pemerintah (istilah buatan-pen). Toh setelah berkenalan dengan dunia yang tidak pernah saya impikan sebelumnya, kata-kata orang tersebut tidak terbukti. Karena tidak semua PNS di semua instansi seperti itu. Masih ada mereka yang jujur dan benar-benar berbakti kepada negara. Jika tidak, tentu negara ini sudah hilang dari enslikopedia sejak dulu.

***

Sejak itu saya paham bahwa Tuhan memang memiliki jalan tersendiri bagi setiap makhlukNya. Walaupun itu terasa pahit, tapi jika kita mau untuk mengurai makna yang berada dibaliknya, hidup ini akan terasa begitu indah. Dan saya percaya itu.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan

boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;

Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 216)

, , ,

5 Comments

Cinta yang Memperdaya

Pacaran. Sebuah fenomena yang tidak asing lagi dikalangan anak muda. Jiwa-jiwa muda yang penuh dengan gelora cinta telah menciptakannya. Mengubah kehidupan yang dahulu sendiri dan biasa saja menjadi luar biasa dan penuh hikmah. Ambilah contoh bahwa ketika sendiri mereka tidak perlu memahami seseorang tetapi setelah berpacaran mereka mau tidak mau harus memahami seseorang. Hal ini wajib bagi mereka, jika tidak maka kehidupan akan mempersulit jiwa mereka bagi kebahagiaan.

Cinta adalah murni, suci tanpa kotoran. Tapi setan-setan sejak zaman Nabi Adam telah bersiap menghadapi hal ini. Mereka bariskan pasukannya, berpergian ke negeri-negeri dan merasuk ke dalam jiwa-jiwa yang dipenuhi rasa cinta. Alhasil, kemurnian-kemurnian tersebut pada akhirnya akan menjelma menjadi istilah yang memperdaya.

Sudah bukan rahasia umum lagi, bahwa banyak anak muda yang sering bergunta-ganti pasangan hidup. ‘Mencicipinya’ satu per satu dan berdalih belum menemukan cinta sejati. Pada saat misi kesejatian tersebut selesai, berapa belas anak manusia kah yang kehilangan kesuciannya atas nama cinta sejati tersebut ? Sungguh mengundang tawa.

Sudah menjadi langganan kisah-kisah romantis. Bahwa cinta sejati dimaknai cinta sampai mati, maka tidaklah heran jika ada dari mereka yang ditinggal pergi kekasih lantas mengakhiri hidupnya dengan cara-cara yang hina dina : mati kehabisan nafas di tiang gantung atau mati keracunan menenggak pembersih lantai. Sebelumnya pun banyak dari mereka yang menyiksa diri sendiri. Menyiksa diri karena patah hati, sakit hati maupun berpaling(nya) hati. Semua itu hanya karena dan berakibat karena kesesatan pemahaman cinta.

Begitulah sekelumit kesesatan-kesesatan cinta. Kemurnian yang memperdaya telah menjadi bencana. Istilah-istilah makin beragam memperindah sebuah hakikat yang sebenarnya buruk : bunuh diri, menyiksa diri sendiri dan mempermainkan wanita. Tapi setan tampak lebih hebat, karena cinta telah  dibuat memperdaya

Kecuali satu..

Cinta kepada Tuhan. Cinta yang tidak akan pernah diperdaya, karena itu murni dan suci. Cinta yang aslinya hinggap pada jiwa-jiwa suci ketika masih terhubung tali pusar dengan sang ibunda dan cinta yang sesungguhnya akan membahagiakan hidup dan kehidupan manusia.

semoga kita memilikinya…amin.

 

sumber gambar : klik wae didieu nya

,

3 Comments