Pesawat

Di atas pesawat orang lebih banyak memikirkan Tuhan ketimbang hal lain yang tidak perlu. Terutama saat pilot mengumumkan cuaca sedang tidak baik-baik saja dan badan pesawat bergetar menghantam angin dan gumpalan awan. Ketidakberdayaan ini memang manjur membuat orang kembali ke jalur ilahiah.

Seketika pesawat mendarat dengan sentosa pikiran tentang Dia perlahan tergerus dengan kesibukan tetek bengek. Pikiran tentang moda apa yang murah dan cepat ke tujuan. Pikiran tentang restauran apa yang terbaik di kota. Pikiran tentang masalah perut, dapur, asmara, pendidikan dan hutang yang berjejalan hingga Tuhan harus minggir sebentar ke tempat yang berjarak.

Kanon-kanon suci pernah menceritakan hal yang kurang lebih sama. Ketika sekumpulan orang memanjatkan doa penuh harap saat armada kapalnya diterjang ombak samudra. Seolah-olah hal ini merupakan tabiat asali manusia. Hal lumrah yang tidak bisa dihilangkan hanya dengan khotbah di atas mimbar.

Setali dengan sifat mudah melupakan ini adalah dosa yang inheren dalam setiap kisah hidup. Merentang dari era Adam Hawa hingga operasi militer Rusia ke Ukraina. Sampai-sampai bijak pandai menganggap hidup sinonim dengan lupa dan dosa, dosa dan lupa. Dan ini adalah manusiawi. Hanya malaikat yang patuh pada SOP surgawi. Mereka hidup dalam tugas yang sama setiap hari. Tanpa rasa tanpa daya gugat. Seperti mesin pabrik yang efisien.

Manusia dengan ‘kemanusiaan’ nya itu lah menyebabkannya merasakan hidup. Berdiri direntangan khaos dan kosmos setiap hari. Memasuki etape bahagia dan sedih, eling dan keblinger. Hingga manusia merasakan betul kucuran nikmat sekaligus ekstasenya bertaubat. Dan patutnya sifat ini disyukuri. Dengannya kita mampu berpuisi, menjadi musisi, atau merasakan nikmat menyepi. Dibalik itulah sebenarnya ada daya hidup. Ada rasa. Yang pada tujuan akhirnya menempatkan kita pada posisi kebijaksanaan: tidak mudah pongah saat beribadah dan tidak mudah putus asa saat berdosa; tidak mudah terpukau orang yang tampak suci dan tidak mudah mengutuk orang yang tampak berdosa.

Ferry Fadillah. Maret, 2022