Posts Tagged puisi
Sunyi
Posted by Ferry Fadillah in PUISI on April 29, 2021
Dalam selimut moral ia bergelut,
“Tuhan, jika kau melarangnya, mengapa kau bangun cinta yang megah di sukmaku”
Ia usir bayang perasaan dalam benaknya
Semakin berupaya bayang semakin kokoh
melekat tanpa ampun
Ia coba usir lagi dengan sisa tenaga
Semakin terusir bayang semakin membara
Bayang memerah
Seperti arang yang ditiup rongga mulut.
Wajahnya terbakar perasaan
ia menyerah
perasaannya bungkam
sunyi penuh bisu.
Rawasari. April, 2021.
Sempurna
Posted by Ferry Fadillah in PUISI on November 23, 2017
–Untuk yang berpikir bahwa hidup itu sempurna
Ada dua warta
Pak Karna mati siang tadi
tubuhnya kaku di emper toko;
Bu Ani digesper suaminya
mukanya lecet penuh luka.
Sebenarnya ada tiga, empat, lima…
Ujungnya luka
Muaranya alpa
Rabu, Mas Parman mampus,
mulut berbusa racun tikus
Selasa ia punya pinta:
Ku ingin lupa, Ka..
Masih kau pikir
hidup itu sempurna?
Luka bak basuhan
dari air gerbang utara
Bulirnya dirajut sutra
Jernihnya melebihi kaca
Diri dicelup dalam tempayan
diputar ke kiri dan ke kanan,
dibalik dan digosok,
dihardik bila berontak,
dicengkram bila melunjak
Diri butuh berserah
Ikuti pasrah
Tanpa keluh kesah
Pada saatnya nanti
Diri kan bercahaya
Bilamana cahaya ada?
Suka duka itu sama
Tak perlu lagi risau
Semua akan selesai..
“Wahai nafs yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu
Dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”
Kuta, 23 November 2017. Ferry Fadillah
Waktu
Posted by Ferry Fadillah in PUISI on October 10, 2016
Waktu tidak pernah mempan dibentak. Dia akan selalu berpacu dengan acuh. Membawamu bersamanya tanpa peduli perasaan.
Pada sebuah persimpangan jalan, waktu tidak pernah melihat ke kiri dan ke kanan. Dia tidak perlu risau dengan mati. Mati lah yang harus risau dengan waktu.
Bertahun-tahun sudah ras kita memampatkan waktu dalam bentuk konsep. Karena konsep maka Sang Waktu dapat dipahami dan dijadikan acuan. Tapi.. Bukankah ini hal yang absurd?
Waktu bekerja melampaui manusia. Tidak terikat presuposisi bentukan kultural. Dia adalah hantu yang menjelma di setiap abad. Di ambang pintu nafas ia akan menyaksikan ruh mu ditarik keluar. Di setiap revolusi akbar ia juga menontonnya dengan dingin.
Di dalam jiwa-jiwa yang lemah lamunan tentang masa kecil adalah hal yang surgawi. Kehidupan dewasa acapkali membelenggu dengan segala tuntutan yang menyesakan. “Wahai Sang Waktu bisakah kau kembalikan aku ke masa kecilku?”
Sang Waktu bergeming. Ia bukanlah Tuhan yang bisa mendengar. Sang Waktu itu tuli juga buta. Doa mu hanyalah serbuk gergaji tukang kayu yang tidak berharga.
Ingatlah manusia: Waktu akan terus berjalan dan belenggu dewasa itu akan semakin mengikat.
Oktober, 2016. Ferry Fadillah.
Mereka yang Naif
Posted by Ferry Fadillah in PUISI on June 17, 2013
oleh Ferry Fadillah
Wahai kau yang naif di ruangan sana
yang bercokol dengan kertas-kertas itu
pernahkah kau dengar pekik merdeka?
tapi mengapa tidak sampai meresap kehatimu?
wahai kau yang naif diruangan sana
pernah kau dengar jerit tangis semesta rakyat
yang digilas pembangunan
dilinggis koorporasi
disetrika pemerintah sendiri
tentu tidak!
karena kau yang duduk di ruangan sana
hanya sibuk menunggu gaji di awal bulan
tunjangan sebelum tanggal sepuluh
uang makan di tengah bulan
wahai kau yang duduk diruangan sana
yang naif lagi buta
bangun, bangunlah!
Hampa
Posted by Ferry Fadillah in PUISI on October 16, 2012
Hampa.
Entah mengapa,
namun aku tahu
bahwa aku tidak akan pernah tahu.
Hampa.
Mungkin saja dia
tahu harus bagaimana.
Namun dimana dia?
Aku tidak tahu
dan aku tidak akan pernah tahu
Hampa.
Apa itu hampa?
Kosong tanpa makna
dan itu kini kurasa.
Ferry Fadillah Sanur, 16 Oktober 2012
Recent Comments