Posts Tagged puisi

Sunyi

Dalam selimut moral ia bergelut,

“Tuhan, jika kau melarangnya, mengapa kau bangun cinta yang megah di sukmaku”

Ia usir bayang perasaan dalam benaknya

Semakin berupaya bayang semakin kokoh

melekat tanpa ampun

Ia coba usir lagi dengan sisa tenaga

Semakin terusir bayang semakin membara

Bayang memerah

Seperti arang yang ditiup rongga mulut.

Wajahnya terbakar perasaan

ia menyerah

perasaannya bungkam

sunyi penuh bisu.

Rawasari. April, 2021.

Leave a comment

Sempurna

–Untuk yang berpikir bahwa hidup itu sempurna

Ada dua warta
Pak Karna mati siang tadi
tubuhnya kaku di emper toko;
Bu Ani digesper suaminya
mukanya lecet penuh luka.

Sebenarnya ada tiga, empat, lima…
Ujungnya luka
Muaranya alpa

Rabu, Mas Parman mampus,
mulut berbusa racun tikus
Selasa ia punya pinta:
Ku ingin lupa, Ka..

Masih kau pikir
hidup itu sempurna?

Luka bak basuhan
dari air gerbang utara
Bulirnya dirajut sutra
Jernihnya melebihi kaca

Diri dicelup dalam tempayan
diputar ke kiri dan ke kanan,
dibalik dan digosok,
dihardik bila berontak,
dicengkram bila melunjak

Diri butuh berserah
Ikuti pasrah
Tanpa keluh kesah
Pada saatnya nanti
Diri kan bercahaya

Bilamana cahaya ada?
Suka duka itu sama
Tak perlu lagi risau
Semua akan selesai..

“Wahai nafs yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu
Dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”

Kuta, 23 November 2017. Ferry Fadillah

, , ,

Leave a comment

Waktu

Waktu tidak pernah mempan dibentak. Dia akan selalu berpacu dengan acuh. Membawamu bersamanya tanpa peduli perasaan.

Pada sebuah persimpangan jalan, waktu tidak pernah melihat ke kiri dan ke kanan. Dia tidak perlu risau dengan mati. Mati lah yang harus risau dengan waktu.

Bertahun-tahun sudah ras kita memampatkan waktu dalam bentuk konsep. Karena konsep maka Sang Waktu dapat dipahami dan dijadikan acuan. Tapi.. Bukankah ini hal yang absurd?

Waktu bekerja melampaui manusia. Tidak terikat presuposisi bentukan kultural. Dia adalah hantu yang menjelma di setiap abad. Di ambang pintu nafas ia akan menyaksikan ruh mu ditarik keluar. Di setiap revolusi akbar ia juga menontonnya dengan dingin.

Di dalam jiwa-jiwa yang lemah lamunan tentang masa kecil adalah hal yang surgawi. Kehidupan dewasa acapkali membelenggu dengan segala tuntutan yang menyesakan. “Wahai Sang Waktu bisakah kau kembalikan aku ke masa kecilku?”

Sang Waktu bergeming. Ia bukanlah Tuhan yang bisa mendengar. Sang Waktu itu tuli juga buta. Doa mu hanyalah serbuk gergaji tukang kayu yang tidak berharga.

Ingatlah manusia: Waktu akan terus berjalan dan belenggu dewasa itu akan semakin mengikat.

 Oktober, 2016. Ferry Fadillah.

, , ,

Leave a comment

Mereka yang Naif

oleh Ferry Fadillah

Wahai kau yang naif di ruangan sana

yang bercokol dengan kertas-kertas itu

pernahkah kau dengar pekik merdeka?

tapi mengapa tidak sampai meresap kehatimu?

wahai kau yang naif diruangan sana

pernah kau dengar jerit tangis semesta rakyat

yang digilas pembangunan

dilinggis koorporasi

disetrika pemerintah sendiri

tentu tidak!

karena kau yang duduk di ruangan sana

hanya sibuk menunggu gaji di awal bulan

tunjangan sebelum tanggal sepuluh

uang makan di tengah bulan

wahai kau yang duduk diruangan sana

yang naif lagi buta

bangun, bangunlah!

 

, , , , ,

Leave a comment

Hampa

Hampa.

Entah mengapa,

namun aku tahu

bahwa aku tidak akan pernah tahu.

 

Hampa.

Mungkin saja dia

tahu harus bagaimana.

Namun dimana dia?

Aku tidak tahu

dan aku tidak akan pernah tahu

 

Hampa.

Apa itu hampa?

Kosong tanpa makna

dan itu kini kurasa.

 

Ferry Fadillah
Sanur, 16 Oktober 2012

 

, , ,

1 Comment