Daun

Pagi itu aku berbicara dengan daun hijau yang tertanam dangkal dalam pot terakota di atas meja jati. Aku tidak paham betul percakapan dengannya. Aku berusaha memahami perkataannya dari gurat serat yang berubah membentuk ekspresi tertentu. Percakapan itu lebih tepat disebut pidato. Sang daun bicara berbuih, aku hanya mengangguk setuju.

Ia banyak memprotes kepada manusia-manusia dan situasi dunia. Daun muak dengan kedangkalan pada pemikiran manusia yang menyebabkan kaumnya harus menerima diri menjadi korban komodifikasi. Dipajang telanjang di instagram dan dijual dengan harga lebih mahal ketimbang baju. Daun juga mual dengan percakapan yang ia dengar dari manusia sekitarnya. Tentang kawin mawin, bisnis portofolio, kebohongan politik juga hal remeh temeh lain seputar akuisisi rumah dan pemupukan kekayaan. Padahal moyangnya dulu pernah berkisah kalau manusia-manusia lebih sering bicara hal-hal luhur. Tentang Tuhan, eksistensialisme, kemanusiaan, revolusi, ideologi apa yang cocok untuk negara kepulauan atau sistem ekonomi apa yang dapat meratakan kepemilikan tanah hingga keadilan terjadi di muka bumi.

Kini daun harus terima nasib. Terdiam dalam ruang ber-AC pada sebuah cafe. Kadang dijadikan alas gawai bagi sekelompok remaja yang berjoget menghadap kamera. “Lebih baik aku menguning dan mati menjadi humus daripada menanggung tingkah laku manusia yang semakin banal”, tutupnya.

Ferry Fadillah. Bandung, Agustus 2020

  1. Leave a comment

Leave a comment