Archive for December, 2015

Puisi (Narasi)

Dalam keramaian dan riuh rendah
sorak pengunjung, hanya sunyi yang
bersemayam dalam diri
Lalu lalang di tengah kesibukan perkotaan
hanyalah layar televisi yang acuh dengan
penontonnya. Tanpa diriku mereka
berjalan sedia kala.
Dingin. Beku. Apatis.
Kita lahir di dunia kepentingan dan
manusia yang berlomba mencapai
hasratnya tanpa perlu memikirkan
kedalaman apalagi sekedar tujuan.
Maka hadirlah kumpulan pemuda
yang hanya tahun selfi 
berpesta ria
tertawa riang
menuntut berang
tanpa mereka tahu
apa yang mereka
lakukan karena hanya hanyut
di tengah banjir informasi
digital yg mencampurkan
busuk berita dengan wahyu suci.
ah, apalagi yang bisa seorang penulis
lakukan untuk fenomena ini
hanya sebuah celoteh pendek dengan rupa yang tidak menenetu
ya, sebuah puisi yang menyerupai narasi
Ferry Fadillah
Desember, 2015

3 Comments

Cerita Calon Arang

Judul               : Cerita Calon Arang

Penulis             : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit           : Lentera Dipantara (2015)

Tebal               : 94 halaman

Dongeng adalah tradisi lisan yang kerap diselimuti kabut mitos dan takhayul. Pendengar atau pembaca dongeng digiring untuk merasakan ‘kesan’ dari suatu cerita, bukan rentetan fakta yang sahih dan presisi. Walaupun dongeng tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, karena ia lebih dekat kepada imaji daripada fakta, narasi-kultural-historis ini telah hadir selama berabad-abad dalam ingatan kolektif bangsa kita; membentuk kesadaran bersama, mewarnai kebudayaan nusantara dan membantu konstruksi imajiner atas sebuah bangsa besar bernama Indonesia.

Calon Arang adalah salah satu dongeng itu. Cerita ini tersebar dari lisan ke lisan; dari satu generasi ke generasi lain. Catatan tertulis Calon Arang ialah berupa kakawin yang ditulis dalam aksara Bali namun menggunakan bahasa Kawi (jawa kuno). Sayangnya, naskah berharga ini tersimpan di Koninklijk Instituut Voortaal-Land-en Volkenkunde van Ned. Indies, Leiden. Usaha filolog kebangsaan Indonesia untuk menerjemahkan naskah ini sudah dirintis oleh Poerbatjarakan (1926) namun masih menggunakan bahasa Belanda dengan kode naskah LOr 5279 (5387), LOr 4562, dan LOr 4561. Terakhir kali, cerita ini terus diproduksi ulang dan ditafsir sesuai keinginan penulis. Pram, panggilan Pramoedya Ananta Toer, kali pertama menulis ulang cerita Calon Arang pada tahun 1954 dengan judul Dongeng Calon Arang. Beberapa penulis wanita juga turut menyemarakan penulisan ulang cerita ini. Di antaranya, Cok Sawitri, seniman dan sastrawan asal Bali yang menulis Janda dari Jirah (2007) dan Toety Heraty yang memasukan ideologi fenimisme kedalam tulisannya Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000).

Calon Arang

Calon Arang

Calon Arang

Syahdan, disuatu negeri bernama Kerajaan Daha (Kediri) berkuasalah seorang raja yang sangat adil dan bijaksana. Maha Raja Airlangga namanya. Di dalam kekuasannya kebutuhan sandang pangan rakyat terpenuhi. Perdagangan dengan bangsa asing dibuka seluas-luasnya demi kemakmuran tanah Jawa. Para pendeta dihormati dan mendapat kedudukan yang layak sebagai kelas Brahma yang disucikan.

Beberapa kilometer dari ibu kota, ada sebuah dusun kecil yang bernama Girah. Di dusun ini tinggal seorang pendeta yang mahsyur karena kesaktiannya bernama Calon Arang. Tanpa ditemani seorang suami, pendeta ini hidup bersama putri sulungnya, Ratna Manggali. Ratna masih muda dan cantik jelita. Setiap orang pasti terpesona olah kecantikannya.

Calon Arang adalah seorang penyembah Dewi Durga. Ia dikenal dengan kesaktiannya meneluh orang. Siapa saja yang berpapasan dengannya dan menyakiti hatinya, pasti keesokan harinya ditemukan mati mengenaskan tanpa sebab yang jelas. Bersama dengan murid-muridnya, Calon Arang selalu mempersembahkan korban manusia dan mandi darah manusia di pekuburan tua.

Ratna Manggali sudah memasuki usia perkawinan. Namun, karena kekejaman ibunya, tidak ada seorang pemuda desa pun yang berani mendekati Ratna. Kondisi yang memprihatinkan ini sering kali menjadi gunjingan penduduk desa dimana-mana.

Kesal karena tidak ada seorang pemuda pun yang mau menikahi Ratna Manggali. Calon Arang berencana melakukan pembunuhan besar-besaran. Setelah mempersembahkan korban dihadapan Dewi Durga, ia diberi kemampuan untuk menyebarkan penyakit ke seluruh wilayah Kerajaan Daha kecuali ibu kota kerajaan. Akhirnya, banyak rakyat yang tidak bersalah menjadi korban. Mayat bergelimpangan dimana-mana. Sawah dan ladang sudah tidak ada lagi yang mengurusi. Kerajaan Daha berada di ujung kehancuran.

Melihat kondisi yang meresahkan ini, Raja Airlangga memerintahkan Ken Kanuruhan untuk meminta bantuan kepada Mpu Baradah di Lemah Tulis. Sang Mpu yang juga terkenal sakti dan baik ini menyetujui permohonan raja. Namun, Mpu Baradah juga sadar bahwa kesaktiannya masih kalah dari Calon Arang. Maka untuk menaklukan janda penyihir itu diperlukan sebuah siasat. Diutuslah muridnya, Mpu Bahula, untuk menikah dengan Ratna Manggali. Harapannya, Mpu Bahula dapat memeriksa dari dekat rahasia kesaktian Calon Arang.

Singkat cerita. Mpu Bahula berhasil mencuri kitab yang digunakan Calon Arang untuk menambah kesaktiannya. Bekerjasama dengan Ratna Manggali, kitab itu segera diserahkannya kepada Mpu Baradah untuk dipelajari.

Setelah mengetahui kelemahan Calon Arang, Mpu Baradah menyembuhkan semua orang yang terkena teluh. Terakhir, ia beradu kesaktian dengan Calon Arang dan berhasil mengalahkan penyihir itu di depan murid-muridnya.

Bahasa Pram dalam Cerita

Pram terkenal sebagai seorang sastrawan realis-sosial yang selalu menggunakan bahasa sastrawi dalam karya-karyanya. Misalnya apa yang Pram tulis dalam tetralogi Bumi Manusia, atau cerita zaman kerajaan seperti Arus Balik dan Mangir. Dalam cerita kali ini, Pram menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan menggunakan alur yang muda ditebak. Hitam dan putih. Sebagian pembaca mungkin akan kecewa bahkan sebagian lagi ada yang mecela karya ini.

Akan tetapi, menurut penulis, cerita yang ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami ini adalah wajar. Mengingat di dalam pengantarnya tahun 1954, Pram menulis, “Buku ini disusun sebagai buku kanak-kanak, agar bisa membangkitkan cerita lama pada mereka. Di samping itu mungkin pula jadi bahan-bahan infomasi bagi murid-murid Sekolah Menengah.” Dan bagi kanak-kanak memang yang dibutuhkan adalah bahasa sederhana dan alur yang mudah dimengerti.

Permasalahannya kemudian adalah apakah bagian-bagian yang penuh dengan kekerasan dalam cerita ini cocok bagi kanak-kanak? Misalnya dalam bagian Calon Arang Mulai Mengganas tertulis sebagai berikut :

Tiap-tiap waktu murid-murid harus berkeramas. Yang dipergunakan mengeramasi rambut adalah darah. Darah itu adalah darah manusia juga. Karena itu rambut murid-murid Calon Arang lengket-lengket dan tebal. Kalau mereka sedang berpesta tak ubahnya dengan sekawanan bintang buas. Takut orang melihatnya. Kalau ketahuan orang mengintip, orang itu diseret ke tengah pesta dan dibunuh dan darahnya dipergunakan keramas.

Darah. Bunuh. Pesta. Imajinasi seperti apa yang akan lahir di benak kanak-kanak. Walau begitu, kita tidak bisa begitu saja menyalahkan Pram atas tulisannya. Tulisan ini tidak banyak berubah dari naskah aslinya dalam bahasa Kawi. Ini adalah salah satu cara Pram menghormati kebudayaan para nenek moyang bangsa ini. Peran serta pendidik atau orang tua dalam memaknai dan memberikan tafsiran etik pada beberapa bagian cerita ini sangat diperlukan. Hasilnya adalah kanak-kanak Indonesia yang bisa membedakan baik-buruk disamping tidak lupa dengan nilai luhur yang diwarisi oleh nenek moyangnya.

Kesimpulan

Cerita Calon Arang adalah pertempuran abadi antara darma dengan adharma. Kekuatan darma (kebaikan) diwakili oleh tokoh Mpu Baradah. Kekuatan adharma (kejahatan) diwakili oleh tokoh Calon Arang. Pada dasarnya kedua tokoh adalah orang baik dengan ilmu yang baik, namun pengendalian emosi yang buruklah menyebabkan Calon Arang terjebak dalam lembah dosa.

Dalam setiap pertempuran, antara darma dengan adharma, kemenangan tidak ditentukan oleh sikap perilaku. Kemenangan ditentukan oleh penguasaan keahlian dan ilmu. Calon Arang dengan perangainya yang buruk bisa mengalahkan musuh-musuhnya di awal cerita karena dia memiliki ilmu rahasia yang secara disiplin dipraktikan. Begitu juga dengan kekalahan Calon Arang, juga disebabkan oleh ilmu rahasianya sendiri yang berhasil dicuri oleh Mpu Baradah. Dalam hal ini, Pram berusaha membuat pembaca insyaf bahwa penguasaan ilmu adalah mutlak diperlukan baik untuk mempertahankan diri maupun untuk menjaga martabat di hadapan musuh.

Bukankah kekalahan kita dihadapan penjajahan fisik Belanda-Jepang dan penjajahan ekonomi-budaya Amerika disebabkan kita terlalu lamban dan menganggap remeh peran ilmu pengetahuan?

Ferry Fadillah. Bandung, 11 November 2015.

,

Leave a comment