Posts Tagged alam

Bumi Pasundan dan Kerusakan Alam

Bumi Pasundan lahir saat Tuhan sedang tersenyum

M.A.W. Brouwer1

Begitulah seorang Brouwer melukiskan indahnya Bumi Pasundan melalui rangkaian kata-katanya. Rakyat pasundan sering mengingat kutipan di atas. Bahkan di Kota Bandung, kutipan ini ditulis besar di bawah jembatan penyebrangan yang menyerupai benteng era kolonial di daerah alun-alun kota. Ya, Pasundan. Gugusan gunung saling jalin-menjalin membentuk formasi indah di segala penjuru mata angin. Air bersih melimpah ruah dari sungai, danau dan bawah tanah. Tanah subur tersebar luas di sepanjang patahan vulkanik. Ragam tanaman tumbuh menghijau dan hampir semuanya bisa diolah menjadi penganan. Belum lagi rakyatnya yang kaya akan budaya, ramah dan religius. Nyunda, Nyantri Nyakola.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah Tuhan masih tersenyum melihat Bumi Pasundan kini?

Perjalanan Jakarta-Bandung dan sebaliknya adalah rutinitas yang harus saya lewati minimal dua kali dalam sebulan. Jalan cepat yang biasa ditempuh masyarakat adalah jalur kereta api Argo Parahyangan atau jalan bebas hambatann Purbaleunyi. Kalau tanpa hambatan, waktu tempuh hanya 3 jam saja.

Di sepanjang perjalanan, ketika sudah memasuki daerah priangan2 kita akan menyaksikan rangkaian pegunungan, pertanian rakyat dan sungai besar. Apakah gambaran keindahan bumi pasundan yang digambarkan Brouwer tampak? Ya, namun dengan kerusakan parah di berbagai sisi.

Jalan tol yang mepercepat jarak tempuh Bandung-Jakarta itu sendiri telah merusak lahan hijau di perbukitan priyangan. Belum lagi perkebunan warga yang seolah tidak diatur oleh negara. Kebun-kebun itu berdiri di atas lereng bukit yang rawan longsor, bahkan di puncak-puncak bukit yang tentu mengorbankan banyak pohon penyerap air yang kelak dapat menahan longsor. Di pegunungan karst Cipatat tidak kalah perih hati melihat. Eksavator bederet menguning menggali punggung gunung kapur menyisakan bopeng-bopeng dan merusak vegetasi alam. Bekas-bekas galian itu akan gersang dan digenangi oleh air hujan. Tidak jarang juga terlihat perumahan elit baru di atas perbukitan yang tadinya dipenuhi pohon-pohon besar.

Kalau ingin lebih detil melihat kerusakan Bumi Pasundan. Cobalah berjalan kaki ke Taman Hutan Raya Ir H Djuanda. Perjalanan bisa dimulai dari Gua Belanda di Bandung sampai Curug Omas di Kab. Bandung Barat. Jarak tempuh sekitar 6 km. Di sepanjang jalan menuju lokasi tiket saja sudah ditemukan banyak sampah plasik yang tergeletak hampir di sepanjang jalan. Seperti sengaja di lempar dari kendaraan. Di dalam hutan sendiri sampah tidak kalah banyaknya, sampah berserakan di sekitar akar pohon dan pondok kayu di beberapa sudut hutan. Yang lebih menyedihkan lagi adalah sampah plastik dan busa rumah tangga yang tertumpuk di bawah aliran Curug Omas. Sampah-sampah itu tidak semua terbawa ke hilir. Sebagian besar tersangkut di akar pohon, berputar di pusaran air pertemuan aliran sungai cikapundung bahkan mengendap di dasar sungai.

Menyedihkan. Bumi Pasundan yang dikenal dengan awalan Ci -yang artinya air- dalam setiap nama tempatnya seharusnya memiliki masyarakat yang menunjukan penghargaan yang tinggi terhadap setiap sumber air, namun yang terjadi sebaliknya. Rakyat Pasundan mulai dari level Pemerintah hingga Pedagang kecil harus memiliki kesadaran untuk memelihara lingkungan mereka. Karena kerusakan atau pencemaran di tanah dan udara pasti akan berujung kepada kualitas air di sungai. Padahal air sungai memiliki peran vital bagi kehidupan pertanian, industri rumah tangga dan spiritualitas dalam arti umum.

Dunia memang sedang berubah. Ekonomi yang ditunggangi kapitalisme buta terhadap moralitas dan spiritualitas. Satuan terbesar dan terkecil dalam hidup ini harus dikapitalisasi. Tidak terkecuali alam Pasundan yang indah. Tanahnya yang subur harus sudi dijadikan ladang yang di pupuk dengan pupuk kimia. Gunungnya yang kaya kapur harus rela digerogoti demi pundi-pundi penambang kapur. Sungainya yang indah harus ridha dicemari oleh industri berat dan rumah tangga.

Kalau ini terus berlanjut jangan harap Tuhan akan terus tersenyum. Mungkin Dia sedang murka dan malu melihat tingkah kita.

Ferry Fadillah. Bandung, 26 Agustus 2015

 

  1. Martinus Antonius Weselinus Brouwer atau dikenal dengan M.A.W Brouwer (14 Mei 1923 – 19 Agustus 1991) lahir di Delft dan meninggal di negeri Belanda adalah seorang fenomenolog, psikolog, budayawan yang sangat dikenal karena kolom-kolomnya yang tajam, sarkastik dan humoris di berbagai media masa di Indonesia terutama pada era tahun 70an sampai 80an (sumber : www.wikipedia.com)
  2. Priangan saat ini merupakan salah satu wilayah Propinsi Jawa Barat yang mencakup Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, yang luasnya mencapai sekitar seperenam pulau Jawa (kurang lebih 21.524 km persegi). Bagian utara Priangan berbatasan dengan Karawang, Purwakarta, Subang dan Indramayu; sebelah selatan dengan Majalengka, Kuningan; dengan Jawa Tengah di sebelah timur dibatasi oleh sungai Citanduy; di barat berbatasan dengan Bogor dan Sukabumi, sedangkan di selatan berhadapan dengan Samudera Indonesia (sumber : www.wikipedia.com)

, , , , , ,

1 Comment

Alam dan Kebebasan

"Pantai dengan bebatuan hitam, Amed, Desa Bunutan, Karangasem, Bali"

“Pantai dengan bebatuan hitam, Amed, Desa Bunutan, Karangasem, Bali”

Camera 360

“Seorang Ibu membawa ikan di atas kepalanya, Amed, Karangasem, Bali”

"Gunung Agung dilihat dari Tulamben, Karangasem, Bali"

“Gunung Agung dilihat dari Tulamben, Karangasem, Bali”

Ketika kita bekerja,

jiwa kita sepenuhnya bukan milik kita

jiwa kita terkurung oleh aturan dan norma yang mengekang.

Ketika kita liburan,

jiwa kita bebas

jiwa kita bisa melihat kembali mimpi-mimpi yang hampir menghilang ditelan rutinitas

 

Lalu, kemanakah liburan kita?

Perkotaan hanya menyisakan debu dan polusi yang menyiksa

Bapak-bapak tukang bangunan yang bermandi peluh

membangun café dan resort demi sang tuan kapitalis

Ibu-ibu gila uang mangkir di tempat porstitusi

menjajakan tetangga mudanya yang masih gadis

Anak-anak pemukiman kumuh berebut lahan bermain

melawan para teknokrat yan selalu berpikir ekonomis

 

Di sisi lain, Desa berjalan perlahan

Petani yang sederhana berjalan memakul pacul menuju sawah

Ibu-ibu membawa sajen di atas kepala  menuju Pura

Anak-anak bertelanjang ria bermain air di pinggi sungai

Dan saya yang kebetulan lewat berdecak kagum melihat kesederhanaan itu

 

Penduduk desa berusaha menyesuaikan diri dengan alam

Penduduk kota berusaha mengubah alam sekehendak mereka

 

Aku muslim, namun aku tahu nilai sakral sebuah Pura

Lalu mengapa pemerintah mau mengubah beberapa Pura sebagai kawasan pariwisata?

Aku bukan orang Bali, namun aku tahu moral dan etika universal

Lalu mengapa pemerintah mau mereklamasi perairan Benoa?

Ketika pekerjaan, Koran dan manusia di selatan Bali hanya membuat keruwetan

Aku berjalan jauh ke Timur Bali, menuju gunung Batur

Di Karangasem, aku menuju bukit-bukit gersang

Membelah jalan menuju Amed

Pantainya hitam

Bebatuan vulkanik dingin bertebaran

Itu tetap indah, kawan

Lautnya jernih

Aku masuk dan melihat-lihat

Memasukan air laut ke pori-pori, memadatkan cahaya matahari ke tulang-tulang

Lalu..

Aku menari bersama ikan-ikan

Satu jam..

Dua jam..

Tiga jam..

Aku bebas, aku bebas

Aku bebas kawan

Ferry Fadillah
Amed, Karangasem, 10 November 2013
 
 

, , , , , , ,

Leave a comment

3 Dimensi Kehidupan dari Alam

Negara Indonesia, sudah ‘terberi’ sebagai kepulauan yang terbentang dari barat ke timur dengan sejuta keindahan di tiap-tiap tanahnya. Hutan yang menghijau di Kalimantan, gunung yang bertumpuk-tumpuk di Jawa Barat, pantai yang indah di Bali, stepa dan sabana yang damai di Nusa Tenggara Timur. Akan tetapi sebagian dari kita merasa biasa saja hidup di kubangan emas ini, bahkan ada yang acuh tak ambil sikap peduli.

Alam yang terberi saya lontarkan di awal tadi. Karena keindahannya sudah ada dari sananya/given/made by something, sehingga fungsi kita hanyalah merekontruksi alam menjadi pemenuh tiga dimensi kehidupan. Pertama, dimensi spiritual, dengan terawatnya alam, maka siapa saja yang melihat akan berpikir agungnya Sang Pencipta, karena alam made by something. Kedua, dimensi ‘isi perut’, kasarnya apa sih yang tidak ada di alam semesta ini yang tidak bisa dimakan, maka dari itu buatlah persawahan, ladang-ladang dsb, namun harus pula diperhatikan keramahan lingkungannya. Ketiga, dimensi pariwisata, garapan kita di alam hendaknya dibentuk dengan estetika atau cita rasa seni yang tinggi agar bernilai pariwisata. Misalnya, sawah tentu hal biasa bagi orang di Pulau Jawa karena kita hidup disekitar sawah (pedesaan), namun bagi wisatawan dari eropa dan arab, sawah merupakan hal unik, langka di negaranya, maka dari itu kembangkanlah persawahan yang bernilai seni dan bernilai ekonomi agar ke-3 dimensi yang saya paparkan tadi terpenuhi.

Pendek kata, selamat malam, semoga kita selalu terinspirasi oleh Alam.

Salam

“Pemandangan Terasering di Jatiluwih, Bali”

Gambar diatas adalah terasering di Jatiluwih, Bali. Bagi sebagian orang, sawah adalah hal biasa, namun bagi wisatawan asing dari Negara Eropa yang beriklim beku dan Negara Arab yang beriklim panas ekstrim pemandangan ini merupakan oase dari segala kedataran pemandangan di negara mereka. Buktinya, mereka tampak bahagia berfoto disana, bercengkrama bersama kerabat di cafe-cafe yang mengambil set terasering ini. Sayang beribu sayang, jalan menuju lokasi masih sempit dan berlubang, apa ini tanda manusia yang acuh hidup di kubangan emas ?

Ferry Fadillah
Badung, 5 Mei 2012

, ,

Leave a comment

Hilangnya Bandung Kami

Keindahan alam merupakan sebuah media untuk meluapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena pada umumnya, ketika melihat sebuah ciptaan maka manusia akan bertanya-tanya tentang siapa penciptanya dan tentu akan mengagung-agungkan penciptanya. Setelah  itu kata-kata baik akan terlontar dari mulut manusia atau bahkan dituangkannya di buku harian dalam bentuk sajak-sajak yang indah.

Alam dengan segala keindahannya pun telah menjadi inspirasi bagi jutaan orang. Ia menjadi inspirasi bagi motif kain batik, menjadi inspirasi bagi upacara adat, inspirasi bagi cara bersosialisasi, inspirasi bagi dunia sastra atau inspirasi bagi ilmu bela diri. Dikarenakan kontribusinya bagi inspirasi manusia, maka adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk menghormatinya.

***

Sebuah kota yang terlahir dari pengeringan danau purba beberapa juta tahun yang lalu merupakan sebuah anugerah bagi manusia setelahnya. Jasad renik yang tertimbun di dasar danau kini telah membentuk susunan tanah yang amat subur. Bahkan ada yang berani menyatakan bahwa dengan melempar biji apa saja ditanah tersebut maka akan tumbuh subur tanpa perawatan apapun. Dan memang benar, dahulu ketika masa raja-raja memerintah di tanah sunda belum ada satupun rakyatnya yang mati kelaparan.

Ialah Kota Bandung yang kemudian dijuluki Paris van Java oleh pemerintah Hindia Belanda. Karena keindahannya seperti kota paris inilah, kota bandung menjadi tempat tinggal idaman bagi menak-menak belanda. Hal ini dapat dilihat dari deretan perumahan ala belanda di daerah bandung utara. Dari cara membangunnya sangat terlihat bahwa mereka ingin menjadikan wajah bandung seperti kota-kota eropa lainnya, yang bergaya art deco.

"persawahan di daerah buah batu"

Tidak hanya itu, kota bandung yang dikelilingi oleh gunung-gunung telah memberikan kesejukan bagi penduduknya. Belum lagi gunung-gunung tersebut menawarkan keindahan dan ketenangan bagi siapapun yang stress setelah bekerja dengan hiruk pikuk kehidupan di kota-kota besar. Ternyata ada benarnya juga ungkapan : Tuhan pasti tersenyum ketika menciptakan kota bandung.

Sekarang mari kita melihat Kota ini sekarang. Bahwa semua puja puji bagi kota bandung itu ada, jauh sebelum matahari tahun 2010 terbit, Jauh sebelum tol purbaleunyi dibangun oleh pemerintah dan Jauh sebelum jembatan layang pasupati berdiri di kota ini.

Persawahan yang sebenarnya adalah sisa-sisa sawah yang dilihat dari pagar batas salah satu perumahan elit di kota bandung

Kehebatan itu membekas di benak warga kota bandung sampai saat ini walaupun realita mengatakan lain. Kini bandung dipenuhi oleh banyak pendatang setiap sabtu dan minggu, menciptakan lautan mobil berplat B yang hilir mudik keluar masuk pertokoan untuk berbelanja, menciptakan kemacetan dan mencemari udara. Belum lagi para pendatang yang tertarik dengan kota ini lalu menetap dan beranak pinak lalu membangun pemukiman-pemukiman yang ribuan jumlahnya.

Pola ekonomi yang berubah pun telah mengacak-ngacak wajah bandung. Para petani yang dahulu menjaga sawah leluhurnya untuk menafkahi keluarga kini lebih memilih menjualnya dengan harga tinggi yang kemudian dari tanah tersebut berdiri kokoh mal-mal dan hotel-hotel. Sudah banyak sawah-sawah tersebut menghilang, yang akhirnya meninggalkan kenangan nyayian padi yang bergesekan diterpa angin.

Sawah-sawah itupun ada yang sengaja dikeringkan oleh pemiliknya karena alam yang sudah tidak lagi bersahabat. Menjualnya. lalu berdirilah komplek-komplek rumah mewah dengan  harga yang hanya dapat diperuntukan  khusus bagi golongan priyayi. Komplek tersebut umumnya dikelilingi pagar beton berpucuk kawat berduri, menciptakan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin.

Tahun berganti tahun, manusia semakin banyak dan semakin ramai merusak sawah-sawah. Pun bukit-bukit hijau tidak terhindar dari tangan rakus manusia. Yang dahulu di puja puji bisa jadi nanti di hina-hina. Saya sendiri tidak bisa berbuat banyak, karena saya hanyalah seorang saya. Satu dari ribuan penduduk yang bermukim di Kota Bandung.

, ,

Leave a comment