Posts Tagged birokrat

Survey

Kalau ada survey minta saran dan masukan diawali dengan maklumat: “data anda terjamin kerahasiaannya”, saya tidak bisa begitu saja percaya. Apalagi survey dibuat instansi pemerintah. Ada pula kolom isian nama dan nomor induk pegawai.

Khusus yang pertama kita semua maklum. Kalau saran dan masukan bisa saja dianggap pembangkangan bagi petinggi yang tidak pernah disanggah. Buruk wajah, cermin dibelah, begitu kata pepatah. Pernah suatu ketika petinggi sebuah kantor murka. Ia tidak sudi melihat nilai rendah atas perilaku dirinya dari bawahan. Waktu itu belum mulai survey elektronik. Penilaian dilakukan dengan kertas dalam amplop tertutup. Mudah saja petinggi itu membuka amplop, mencari identitas bawahannya dan memanggil dengan titah: beri saya nilai baik! Sebagai bawahan yang hidupnya sedikit banyak ditentukan atasan, ia hanya bisa tertunduk setuju.

Pernah juga selepas masa ospek pendidikan. Panitia menyerahkan kertas folio kepada peserta. Perintahnya isi dengan kesan dan pesan. Tidak lupa mengisi identitas. Saya dengan jujurnya menulis pesan. Bahwa kegiatan ini tidak ada guna dan tidak sesuai sendi kemanusiaan. Ternyata ditangan ketua ospek. Yang merupakan seorang PNS senior tulisan itu dianggap makar. Saya dimarahi, disuruh push up dan dites hapalan pancasila. Belakangan tes hapalan pancasila sering saya lihat menjadi alat bagi aparat untuk menindak pelanggar lalu lintas atau protokol kesehatan. Dan apa relevansinya saya pun tidak tahu menahu.

Mengenai nama dan nomor induk pegawai. Keduanya adalah identitas kunci. Bagi pihak yang punya akses dengan memasukan nomor induk saja bisa didapati data detil alamat, keluarga, riwayat mutasi dan lain-lain. Apakah data tersebut bisa dijamin aman dari tangan petinggi yang ingin ‘menandai’ para kritikus. Bisa-bisa data itu dijadikan semacam alat politik kolonial. Menjauhkan para pengkritik ke pinggiran kekuasaan. Pinggiran negara. Ke tempat terdepan, terpencil dan tertinggal. Agar ia insyaf akan salahnya. Merenungi khilafnya. Dan menjadi penurut yang beriman.

Begitulah Hindia Belanda mengasingkan intelektual nasionalis di zamannya. Begitu juga orde baru terhadap unsur-unsur kiri agar mereka hilang bungkam. Dan juga sekarang melalui UU ITE agar warganet berfikir jutaan kali sebelum mengunggah tulisannya.

Tampaknya petinggi-petinggi yang lahir dari rahim orde baru belum tampak betul nyaman dengan alam saling kritik ini. Bermacam-macam edaran dan ketentuan dibuat. Intinya agar para bawahan. Aparat rendahan yang kerjanya mengatakan “siap” sesaat setelah mendengar perintah menjadi patuh tanpa koma. Tidak membuat gaduh. Dan membiasakan menyelesaikan permasalahan internal secara ‘kekeluargaan’. Walaupun maknanya bisa jadi berlarut-larut dan tanpa putusan sama sekali.

Saya percaya kalau salah satu suksesnya jalan demokrasi adalah adanya ruang bagi perdebatan. Tanpa itu maka birokrasi tidak ubahnya tata kerajaan zaman feodal. Dan sebagaimana sejarah menasihati. Sistem itu rapuh dan kelak lapuk berkeping-keping.

Rawasari. September, 2020.

, , , , ,

Leave a comment

Matinya Intelektualitas

Aku memberi kesaksian,

Bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai

Filsafat mati

Dan penghayatan kenyatataan dikekang

Diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi.

Kepatuhan diutamakan,

Kesangsian dianggap durhaka.

Dan pertanyaan-pertanyaan

Dianggap pembangkangan.

Pembodohan bangsa akan terjadi

Karena nalar dicurigai dan diawasi.

Penggalan Syair W.S. Rendra berjudul Kesaksian Mastodon-Mastodon (1973)

***

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dipuja-puja, disanjung-sanjung, dieluk-elukan, kata orang, sekolah ini sekolah favorit, sekolah papan atas, incaran para lulusan sekolah menengah atas. Tunggu dulu? Apa yang mereka cari dari sekolah ini?

Jelas. Tujuan material adalah tujuan mereka. Sebab, konsekuensi lulus dari dari STAN adalah diangkatnya menjadi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan. Nasib mereka akan berubah. Tingkat pengangguran di Indonesia akan berkurang. Dan tentu bertambah juga kelas menengah  se-antero Indonesia. Masalahnya adalah, apakah lulusan STAN telah benar-benar insyaf akan dirinya sendiri dan kelak untuk siapa mereka bekerja (baca : berjuang)? Kita harus tilik kembali ke dalam kehidupan kampus dibilangan bintaro ini.

Matinya Intelektualitas

Sekolah para akuntan, pemungut pajak, penilai dan ekonom ini menawarkan subjek-subjek ilmu pengetahuan yang menarik. Ekonomi Mikro, Ekonomi Makro, Akuntansi, Ilmu Hukum, Keuangan Publik, Hukum Keuangan Negara dan puluhan ilmu pengetahuan lain yang berbeda di setiap prodi.

Saya yakin, semua Mahasiswa, berlomba-lomba untuk memahami itu semua. Mereka akan belajar keras menjelang ujian, berusaha untuk menghapal semua slide yang diberikan oleh dosen di kelas. Sayang, saya sempat kecewa –mohon maaf- ketika melontarkan kritik atas cara penyampaian seorang dosen ekonomi dihadapan teman sekelas. “Sudah, cara dosen menyampaikan materi tidak perlu digubris, yang penting dia baik memberi nilai”, celoteh seorang teman.

Miris. Apakah ini cara berpikir semua mahasiswa STAN? Saya harap hanya satu dua orang berpikir seperti ini. Kalau sampai semua anak STAN berpikir seperti ini, maka benar-benar intelektualitas telah mati di kampus yang katanya favorit ini.

Mereka yang Lupa

Saya bukan seorang pakar pendidikan, apalagi professor sebuah perguruan tinggi. Saya hanyalah mahasiswa yang rindu akan hingar bingar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang seharusnya mencetak mahasiswa menjadi kritis, progresif dan revolusioiner.

Mahasiswa kelak selalu mempertanyakan status quo. Mengapa ini seperti ini? Mengapa tidak seharusnya seperti itu? Pertanyaan yang berulang atas segala sesuatu yang orang awam anggap sebagai kewajaran adalah perlu untuk menciptakan inovasi-inovasi, perubahan dunia menuju kemapanan di segala bidang.

Ketika ilmu pengetahuan hanya dihapal kemudian dijadikan capital memperoleh ijazah agar kelak bekerja tenang di lingkungan pemerintahan, maka sesungguhnya mahasiswa telah melacurkan intelektualitas mereka sendiri.

Pola pikir pragmatis seperti ini hanya akan melahirkan birokrat muda yang sibuk mengisi kantongnya dengan pundi-pundi gaji. Mereka malas berpikir, yang terpenting adalah mengikuti instruksi atasan dan bermuka  manis atas setiap perintah dengan harapan pengharggaan berupa : kedudukan.

Saat ini semua terjadi, mahasiswa yang telah menjadi birokrat muda itu telah lupa bahwa mereka adalah bagian dari rakyat. Rakyat yang kesusahan setiap hari karena harus ditindih oleh kebijakan pemerintah yang mengakibatkan kemiskinan struktural. Rakyat yang terus meratap dan berdoa kemudian dinina bobokan dengan janji pahala kesabaran dan imbalan surga yang kemudian lupa untuk menuntuk hak-hak mereka atas hidup dan penghidupan.

Menjadi Intelektual

Intelektualitas berarti kita insyaf bahwa semua ilmu pengetahuan yang kita pelajari di bangku kuliah adalah untuk memperkuat daya kritis kita dan mensejahterakan mereka yang marjinal. Leon Trotsky pernah berkata, “The intellectual wants to rise above capitalist mental oppression, the academics are capitalist mental oppression”

Maka yang kita perlukan agar tetap berpihak kepada rakyat adalah mejadi seorang intelektual. Menjadikan ilmu pengetahuan yang kita dalami di kampus sebagai amunisi yang kelak membebaskan tetangga kita, orang satu daerah dengan kita, rakyat di tempat penempatan kelak, merdeka semerdek-merdekanya dengan membuka mata mereka akan hak-hak mereka dihadapan para penguasa.

Ketika filsafat hidup, dan penghayatan akan kenyataan dibebaskan, saya yakin mahasiswa STAN yang kelak menjadi birokrat muda, yang tersebar seantero Nusantara, yang jumlahnya beribu-ribu itu, dengan tegas dan gagah akan mengatakan tidak atas segala kelaliman siapapun juga.Ingat : Vox Populi Vox ‘Dei’!

Ferry Fadillah, dimuat dalam Warta Kampus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Edisi 27, Januari 2015.

, , , ,

Leave a comment

Keberpihakan

Tuan, Puan,…

Budi itu bukan buah karya Principle Accounting-nya Warren;

akhlak itu bukan hasil telaahan Borgelijk Wetboek-nya londo Belanda;

nurani itu bukan celupan pikiran membaca Kurva Permintaan dan Penawaran.

Semua itu bermula dari keberpihakan

Mahasiswa..

Perut kosong mu terlalu banyak diisi idealisme;

bayanganmu bak surga kelak di tempat kerja.

Kau tahu? Apa itu omong kosong surga?

 Birokrat Muda..

Kelak kebebasan berpikirmu dinjak-injak;

kau beropini, bosmu tersinggung;

kau menolak, bosmu ancam mutasi;

kau ceramah, mungkin pipi kirimu ditamparnya.

Ya, hanya dua kata yang pantas ketika itu :

‘siap’ dan ‘laksanakan’

Kelak kau bertanya :

“Dimana kebebasan itu, kawan?”

Semua terdiam, karena telah menjadi mesin tanpa asa.

Namun jangan gusar.

Suatu pagi kau akan terbiasa dengan itu;

perut kosongmu akan diisi gaji dan TKPKN.

Bagimu yang terpenting adalah kekayaan pribadi :

kau beli rumah mewah;

kau beli mobil terbaru;

kau peristri wanita cantik;

Cukup.

Wahai, Penghianat Rakyat..

Saat perutmu penuh dengan lemak;

wajahmu  lusuh memenuhi meja kerja

Saat itu juga ratusan rakyat menderita di bawah kolong jembatan;

bayi-bayi menangis di rumah triplek bantaran sungai

kuli-kuli menderita bekerja siang-malam

Sedang engkau?

Masuk 07.30 pulang 17.00

duduk malas, menanti tanggal muda

Budi

Akhlak

Nurani

Enyahlah itu semua!   k a u   s u d a h   t i d a k   b e r p i h a k

Bintaro, 25 Oktober 2014
Ferry Fadillah

, , ,

1 Comment

Doa yang Terkabul

Hal paling membahagiakan bagi mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) adalah lulus kemudian menjadi pegawai negeri di lingkungan Kementerian Keuangan. Itulah yang aku alami. Setelah lulus dari Prodip I Kepabeanan dan Cukai tahun 2010, aku langsung ditugaskan di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Aku sebenarnya tidak bercita-cita menjadi seorang pegawai negeri sipil. Semua orang tahu, menjadi pegawai negeri berarti siap hidup dalam ritme yang membosankan; aturan ketat; apel setiap senin; pakaian yang seragam dan kepatuhan kepada atasan. Namun, melihat kondisi keuangan keluarga yang morat-marit, aku tidak memiliki pilihan, aku harus menghadapi itu semua.

Tahun pertama masa kedinasanku dilalui tanpa kendala yang berarti. Bahkan, aku sangat bersyukur mendapatkan ilmu dari proses bisnis di unit kerjaku dan peraturan-peraturan yang kubaca. Aku juga bersyukur karena dikaruniai seorang atasan yang sangat ramah dan paham akan keinginan anak buah. Tidak jarang aku diberi kesempatan untuk menjadi pembicara dihadapan pegawai-pegawai senior, menyampaikan ilmu administrasi pemerintahan yang aku pahami, dan tidak ada satu pun dari mereka yang meremehkan aku, aku sangat bersyukur.

Setelah dirasa cukup lama aku di unit tersebut, aku dipindah tugaskan ke unit yang baru. Banyak pegawai menginginkan untuk menjadi pegawai di unit baru ini. Ilmu Kepabeanan dan Cukai dapat sepenuhnya di aplikasikan, dan –yang terpenting- pekerjaan didominasi pekerjaan lapangan, bukan administrasi.

Satu hal yang kurang aku suka di unit ini adalah setiap pegawai harus tunduk patuh secara totalitas kepada kehendak atasan. Sialnya, atasanku adalah seorang pengidap insomnia. Beliau biasa pulang kantor pukul 03.00 dini hari, dan aku harus menemani beliau di kantor dengan kewajiban masuk pagi keesokan harinya. Belum lagi tugas protokoler tambahan di hari sabtu dan minggu. Aku benar-benar kehilangan kebahagiaan.

Aku mulai rindu lari sore di pinggiran pantai kuta; berkumpul dalam pengajian mingguan dan silaturahmi dengan warga sunda di Denpasar. Aku merasa kehilangan jiwa dan bertransfromasi menjadi sebuah mesin. Kaku dan Statis.

Medio tahun 2014, ujian saringan masuk STAN untuk Prodip III Khusus dibuka. Aku begitu antusias mendengar kabar ini. Aku berpikir, bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk bebas dari rutinitas kantor yang membosankan. Tanpa banyak tanya, aku langsung mendaftar dan mempersiapkan segala sesuatu. Namun, karena beban pekejaan dan waktu tidur yang kurang aku tidak memiliki waktu yang cukup untuk belajar. Alhasil, tahun itu aku belum diberi kesempatan untuk kuliah di Bintaro.

Tahun 2013, aku mengikuti ujian saringan masuk di lokasi yang sama. Lagi-lagi, aku merasa tidak siap menghadapi ujian pada saat itu. Entah mengapa rasa pesimistis itu selalu datang. Tanpa perlu banyak berangan-angan, aku sudah memastikan diri bahwa aku tidak akan lulus untuk seleksi masuk tahun ini, dan itu pun yang terjadi.

Aku berkontemplasi. Rutinitas pekerjaan ku yang mekanis siklis telah mengikis habis nalar berpikir. Aku juga sadar, beberapa tahun bekerja dengan penghasilan yang dapat aku peroleh sendiri, aku mulai hidup dalam hura-hura, hedonisme, dunia malam dan, ah, hal-hal imanen lain yang tidak berguna dan bermanfaat. Aku ambil kesimpulan bahwa ini disebabkan oleh dosa-dosaku, bukan semata kemampuan akademik.

Awal tahun 2014, aku terkejut, pelaksanaan ujian saringan masuk STAN dimajukan. Kamu tahu? Aku benar-benar tidak siap menghadapi kegagalan yang ke tiga kalinya. Waktu belajar sudah sangat sempit. Doa? Ah, mana Tuhan dengar makhluknya yang berdosa ini.

Dalam sebuah perenungan di masjid, tiba-tiba aku tercerahkan. Jika belajar sudah tidak ada waktu dan doa pendosa ini tidak didengar, maka solusinya satu, dengan logika sederhana : Tuhan pasti mengabulkan doa; doa harus dipanjatkan oleh manusia yang dijamin pengabulan doanya; doa harus dihaturkan di tempat yang mustajab (probabilitas pengabulan doa tinggi)

Akhirnya, aku mengumpulkan tabunganku sebagai pegawai paling rendah di Kementerian Keuangan. Aku hitung, dan berdoa agar uang itu cukup. Dan aku menelpon ibuku, “Mah, besok tolong urus passport ke Kantor Imigrasi. Minggu depan mamah berangkat umrah. Nanti uangnya aa transfer, mudah-mudahan cukup. Jangan lupa, tolong doakan aa sukses dunia akhirat dan lulus ujian saringan masuk STAN.”

Mendengar kabar itu, ibuku sangat terkejut. Nada haru terdengar dari ujung telepon. Maklum, beliau belum pernah sama sekali menginjakan kaki di tanah suci. Alasannya ekonomi. Untuk masalah kontrak rumah dan studi kedua adik saja sudah pusing tujuk keliling, bagamana memikirkan untuk umrah dan lain-lain.

Namun aku yakin, dengan cara ini aku telah berbakti walau tidak sempurna. Dengan cara ini, aku telah membuktikan kepada Tuhan, walaupun aku banyak dosa, ujung dari segala masalah adalah Dia semata.

Pelaksanaan ujian dimulai, pagi yang cerah di Kota Denpasar, namun aku merasa sesak dan tertekan. Aneh, aku sulit memahami hampir seluruh soal matematika. Sinonim, antonim dan ah, apalah itu, aku baru dengar semua kata-kata itu! Namun, aku tetap berdoa dan mengerjakan yang aku bisa. Ketika, waktu ujian selesai, aku keluar ruang ujian dengan penuh pengharapan.

Ada waktu sebulan dari waktu ujian menuju pengumuman kelulusan. Aku sudah pasrah dengan segala hasil yang ada. Bayang-bayang kegagalan selalu menghantuiku. Karena bila gagal, aku akan kembali hidup dalam rutinitas yang menjemukan dengan kepatuhan total kepada atasan yang memuakkan.

Saat pengumuman kelulusan tiba, aku terkejut, namaku tertera di pengumuman itu. Tidak terkira rasa syukur dan bahagia yang aku rasakan. Aku telepon ibuku, aku ucapkan terimakasih berkali-kali. Aku bersyukur pula kepada Tuhan, ternyata ia benar-benar mengabulkan segala doa.

Aku membayangkan bebas dari rutinitas kantor. Aku akan kembali menjadi mahasiswa; berdiskusi tentang isme-isme; mengkaji permasalahan secara intelektual dan tentu banyak waktu untuk berkontemplasi dihadapan Sang Khalik.

Sejak saat itu, aku tidak pernah meremehkan kekuatan doa. Aku juga yakin bahwa ridho Ibu adalah ridho Tuhan. Dan teruntuk Ibu tercinta, semoga engkau selalu dalam keadaan sehat dan berbahagia. Amin.

Ferry Fadillah
Bintaro, 7 OKtober 2014

, , , , , , ,

4 Comments

Refleksi Budaya Birokrat

Aku memberi kesaksian,

bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai

Filsafat mati

dan penghayatan kenyataan dikekang

diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi.

Kepatuhan diutamakan,

kesangsian dianggap durhaka.

Dan pertanyaan-pertanyaan

dianggap pembangkangan.

Pembodohan bangsa akan terjadi

karena nalar dicurigai dan diawasi.

 (W.S. Rendra dalam Kesaksian Tentang Mastodon-Mastodon. Jakarta, November 1973)

             Apakah yang melatarbelakangi sang “Burung Merak”, W.S. Rendra menulis puisi di atas pada tahun 1973? Apakah pada saat  itu peradaban pejabat dan pegawai, kemudian saya generalisasi sebagai birokrat, di negeri ini sedang dalam titik kritis : menuju kematian filsafat ? Apakah pada saat ini peradaban para birokrat sudah lebih baik atau malah menuju titik kehancuran?

 Refleksi Budaya Birokrat

            Pertanyaan-pertanyaan di atas selalu berputar di dalam otak saya. Apalagi, secara nyata-nyata, saya adalah bagian dari birokrasi itu sendiri.

            Sebagai birokrat, saya tidak asing mendengar eselonisasi, strukturisasi, hierarki, petunjuk pelaksanaan dan istilah formal lainnya. Dari semua istilah itu dapat dibayangkan bahwa kebudayaan/peradaban birokrat bersifat kaku, instruksi top-bottom, loyalitas dinomor satukan dan struktur adalah segala-galanya.

            Seorang Pejabat Eselon II, misalnya, memiliki beberapa bawahan Eselon III, Eselon IV dan Pelaksana. Apabila institusi birokrasi itu menganut sistem semi militer, apa yang dikatakan Pejabat Eselon II harus dilaksanakan oleh Pejabat dan Pelaksana di bawahnya. Tanpa kritik bahkan cela. Maka tidak jarang kita melihat tingkah laku para Pejabat yang menyebalkan orang awam dan merepotkan anak buahnya. Akhirnya, mereka hanya bisa curhat sesama pelaksana atau pejabat selevel tanpa berani mengritik pejabat dengan level di atasnya.

            Membaca kembali puisi W.S. Rendra di atas, kita tahu bahwa birokrat diprioritaskan sebagai orang-orang yang patuh. Misalnya, diadakan Pelatihan Kesamaptaan. Di sana birokrat ditempa dan didoktrin arti pentingnya korsa dan loyalitas. Bagaimana mematuhi perintah dengan cepat dan tepat, bagaimana menunjukan sifat hormat di depan atasan dan bagaimana merasakan penderitaan secara kolektif adalah makanan keseharian Diklat Kesamaptaan. Hasilnya? Birokrat-birokrat yang patuh, tunduk dan enggan untuk berinovasi. Karena, bisa jadi, inovasi, kesangsian, pertanyaan-pertanyaan menandakan pembangkangan.

            Jawaban untuk pembangkangan, seperti yang saya ketahui, adalah ancaman mutasi ke daerah antah berantah, dipindahkan ke bagian lain yang tidak sesuai dengan kompetensinya dan sanksi sosial berupa bullying. Sehingga tidak heran, para pelaksana di tingkat struktur paling rendah hanya bisa sabar dan berdoa ketika mengalami kesewenang-wenangan.

Memulai Titik Perubahan

            Semua kebobrokan itu bermula ketika birokrat berhenti menghidupkan filsafat. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang terdiri dari kata philia (persahabatan, cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Sehingga, secara harafiah filsafat bermakna orang yang mencintai kebijaksanaan.

            Filsafat menekankan kepada cara berpikir kritis, menimbang-nimbang segala sesuatu; benar atau salah, melihat segala permasalahan dari perspektif yang lebih luas, meninggalkan taklid (tunduk buta) terhadap sebuah doktrin, ideologi bahkan agama. Jadi apa yang diharapkan dari hidupnya filsafat dalam kebudayaan birokrasi adalah munculnya birokrat-birokrat yang berjuang di jalan kebenaran, bukan birokrat-birokrat yang membela atasannya, seperti anjing membela tuannya.

            Konsekuensinya, institusi birokrasi harus berani menerima apabila ada salah satu anggotanya melaporkan kebobrokan institusinya kepada media masa ataupun Institusi Pengawasan (KPK, Inspektorat Jenderal dll). Institusi birokrasi harus berlapang dada terhadap itu semua dan berhenti saling melempar tanggung jawab. Berkontemplasi atas segala kesalahan dan mulai melakukan revolusi birokrasi secara radikal.

              Dimulai dari diri kita sendiri yang menghidupkan kembali filsafat di institusi masing-masing, saya kira birokrat-birokrat yang berfilsafat akan mengembalikan coreng muka negeri ini yang sudah kacau di mata media, nasional maupun internasional. Semoga.

Ferry Fadillah. Badung, 24 September 2013.

, , , , , , , ,

Leave a comment