Multikultural

Kementerian Keuangan adalah organisasi pemerintah besar yang memilki 11 unit eselon I. Beberapa unit memiliki satuan kerja vertikal yang tersebar di seluruh Indonesia. Seperti pada Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 memberi isyarat adanya pola mutasi dalam jangka waktu tertentu. Sebagaimana termaktub dalam pasal 190, “(2) setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) Instansi Pusat, antar-Instansi Pusat…; (3) Mutasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun”. Maka perpindahan pegawai dari satu satuan kerja pada sebuah kota/provinsi ke kota/provinsi lain adalah wajar belaka.

Pola mutasi inilah yang menyebabkan komposisi ras, suku dan agama pada sebuah kantor menjadi heterogen. Walaupun bekerja di daerah dengan mayoritas Islam, misalnya, sebuah satker DJBC juga memiliki pegawai yang beragama Hindu dan Kristen. Dalam setiap agenda keagamaan mereka diberi ruang dan waktu mengekspresikan penghayatan  ketuhanan masing-masing. Ini dapat dibuktikan dalam struktur pengurus pembinaan mental di DJBC yang terdiri dari komponen Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Keragaman agama dalam mencapai tujuan bersama organisasi ini benar-benar saya rasakan ruhnya saat bekerja di Kantor Wilayah DJBC Bali, NTB dan NTT tidak sebatas sebagai pegawai kantoran tetapi juga anggota masyarakat yang turut merasakan denyut aktivitas Pulau Dewata.

***

Akhir 2009, saya mendarat di Bali bersama Nenek dan Ibu. Itu adalah kedatangan pertama saya ke Bali. Sebelumnya saya hanya mengenal Bali dari cerita para pelancong. Mereka bilang Bali adalah kebebasan, wanita, alkohol, berhala, laut dan kemewahan. Saya mengaminkan semua itu dan menjadikanya kepercayaan.

Sejak kecil, saya biasa bergaul dengan teman yang memiliki kesamaan agama dan etnis. Agama dan kebiasaan yang terbentuk itu secara tidak sadar telah menjadi acuan kebenaran dalam memandang segala sesuatu. Maka timbul kegelisahan di dalam batin saat mengamati setiap sudut kehidupan di Bali. Semuanya hampir berbeda dengan agama dan kebiasaan asal saya. Mengapa ada banyak patung? Mengapa ada banyak sajen di jalanan? Mengapa ada dupa di pojok ruangan? Kenapa bar terbuka dan terlihat di jalan? Mengapa indekos tidak memisahkan penghuni pria dan wanita? Dan mengapa-mengapa lain yang menuntut jawaban pasti.

Bukannnya mencari jawaban dari orang Bali atau membaca buku tentang Bali, saya membatasi pergaulan hanya dengan pegawai dan masyarakat dari asal daerah dan agama yang sama. Sehingga, diam-diam saya menumpuk kecurigaan. Ide tentang negara teokrasi dengan undang-undang berbasis moral ilahiah sempat menjadi pegangan saya. Singkat pikir, hanya Islam lah yang memegang teguh sila pertama dari Pancasila. Agama-agama non monotheistik, apalagi yang memanifestasikan tuhan dalam sosok antrophormistik tidak pantas disebut pengamal pancasila yang sejati. Saya harus memurnikan Bali dari penyimpangan itu.

Hidup sebagai minoritas di Bali dengan kecurigaan seperti itu membuat hati saya sempit. Dimana-mana saya selalu menyalahkan sistem dan masyarakat. Tidak hanya kepada mereka yang berbeda agama, kepada sesama pegawai yang seagama pun namun dengan praktik ibadah yang berbeda saya kerap ribut. Zaman kegelapan itu berlangsung selama satu tahun. Untungnya, identitas itu cair, semua manusia pembelajar selalu dalam proses  menjadi.

Tahun-tahun berikutnya, saya banyak membaca filsafat. Yang paling berkesan adalah saat mendengar kuliah yang diampu oleh Prof. Bambang Sugiharto tentang  filsafat ilmu melalui DVD. Saya dijelaskan bahwa kepercayaan akan kemurnian adalah konyol. Agama itu murni dari level ilahiah namun saat ia turun ke bumi melalui para rasul dan disebar melewati ruang dan waktu akan selalu ada interpretasi terbuka yang disesuaikan dengan semangat zaman (zeitgeist). Oleh sebab itu, agama menjadi dinamis dengan tetap memperhatikan hal-hal yang prinsipil. Pikiran saya terbuka dan perkawanan dengan penganut  Hindu dimulai.

Saya menikmati perbincangan teologis dengan kawan Hindu di kantor. Ketika saya bertanya konsep ketuhanan seperti apakah yang dianut Hindu, mereka dapat menguraikan dengan rinci, sehingga saya menyimpulkan bahwa mereka pun tidak menyimpang dari sila pertama pancasila. Tidak berhenti sampai sana. Saya beberapa kali mengunjungi Pura kantor untuk melihat praktik keberagamaan mereka dan mengunjungi gereja katolik untuk memperhatikan kegiatan kepemudaan. Kunjungan itu membawa saya kepada kesadaran bahwa ada kenyataan lain tidak terbantahkan diluar praktik agama saya. Dan kenyataan itu bukan untuk ditiadakan tapi dipahami untuk mencari simpul-simpul kesamaan.

Dialog antar iman dan melihat langsung peribadatan pemeluk agama lain selama bertahun-tahun di Bali telah meningkatkan ambang toleransi . Saya tidak lagi risih dengan patung dewa-dewi yang bertebaran di setiap penjuru kota. Sajen (banten) dan dupa di sudut-sudut ruangan juga hal yang biasa. Setiap orang di setiap daerah memiliki cara menghayati pengalaman kebertuhanan mereka. Hal tersebut tidak terbatas antar agama, namun dalam spektrum satu agama. Praktik ini sangat terlihat dalam ajaran Hindu Bali yang mampu berdamai dengan mahdzab Syiwa, Wisnu dan Budha sekaligus.

Di kantor, tidak ada sekat antara dia yang Islam, dia yang Hindu atau dia yang Kristen. Semua pegawai bekerja saling tolong menolong sesuai tugas dan fungsinya.  Saat umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan,  kawan-kawan Islam dan Kristen dengan ikhlas membantu tugas pengawasan dan administrasi agar proses bisnis kantor tetap berjalan. Begitu juga ketika umat Islam dan Kristen merayakan hari raya, umat Hindu turut membantu tugas mereka di kantor. Keragaman dan kolaborasi yang dinamis inilah miniatur Indonesia dalam ikat semboyan bhineka tunggal ika.

Kebhinekaan ini sebenarnya lebih terasa diluar lingkungan kantor. Bali sebagi daerah eksotis yang terbuka sudah selama berabad-abad menerima perbedaan sebagai kenyataan. Perbedaan itu tidak saja berada dalam sekat-sekat, batas-batas yang tidak dapat dilampaui, namun mencapai titik akulturasi. Di beberapa daerah seperti Kuta dan Buleleng dapat ditemukan perkampungan muslim-bugis yang ternyata masyarakatnya dapat berbahasa Bali dengan fasih. Di Desa Adat Tuka yang mayoritas Katolik, penduduknya tetap menggunakan pakaian adat Bali saat kebaktian di katedral yang juga berarsitektur Bali. Di Ubud, gaya lukisan batuan yang khas terpengaruh aliran lukis moderen yang dibawa oleh Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Pelukis batuan dapat memadukan gaya klasik pewayangan dan gaya miniaturis modern sehingga menghasilkan lukisan hybrid yang khas dan berkesan magis. Pada kasus ini seni tidak berhenti di titik akulturasi tapi menembus hingga titik asimilasi.

Masih banyak contoh kolaborasi antar etnis, agama, atau aliran seni di lingkungan kantor maupun kehidupan masyarakat, tidak hanya di Bali akan tetapi di seluruh daerah penempatan para pegawai Kementerian Keuangan. Kolaborasi itu secara sporadis diberi label multikulturalisme di dalam pidato para pejabat. Namun, menurut Amartya Sen dalam bukunya “Kekerasan dan Identitas” dukungan lantang terhadap multikulturalisme akhir-akhir ini sesungguhnya tak sekedar pleodoi terhadap monokulturalisme majemuk. Sen menjelaskan, “Jika seorang gadis dari keluarga imigran konservatif hendak pergi kencan dengan cowoknya yang inggris, maka jelas ada inisiatif multikultural dalam hal ini. Sebaliknya, upaya orang tua sang gadis untuk mencegah dia berkencan sulit untuk bisa disebut sebagai sikap multikultural, sebab menjaga agar budaya masing-masing tetap terpisah. Multikulturalisme ditandai dengan bauran-bauran yang interaktif antar entitas yang berbeda. Dan dalam hal ini Kementerian Keuangan berhasil mewujudkannya sehingga dapat menjadi contoh satu padunya Indonesia dalam bingkai multikulturalisme.

Ferry Fadillah, 2019.
tulisan ini dimuat dalam buku “Perekat Indonesia” terbitan Kementerian Keuangan Tahun 2019

, , , , , , ,

  1. #1 by ntanmuth on January 4, 2020 - 10:38

    👏👏👏

Leave a comment