Posts Tagged indonesia

Multikultural

Kementerian Keuangan adalah organisasi pemerintah besar yang memilki 11 unit eselon I. Beberapa unit memiliki satuan kerja vertikal yang tersebar di seluruh Indonesia. Seperti pada Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 memberi isyarat adanya pola mutasi dalam jangka waktu tertentu. Sebagaimana termaktub dalam pasal 190, “(2) setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) Instansi Pusat, antar-Instansi Pusat…; (3) Mutasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun”. Maka perpindahan pegawai dari satu satuan kerja pada sebuah kota/provinsi ke kota/provinsi lain adalah wajar belaka.

Pola mutasi inilah yang menyebabkan komposisi ras, suku dan agama pada sebuah kantor menjadi heterogen. Walaupun bekerja di daerah dengan mayoritas Islam, misalnya, sebuah satker DJBC juga memiliki pegawai yang beragama Hindu dan Kristen. Dalam setiap agenda keagamaan mereka diberi ruang dan waktu mengekspresikan penghayatan  ketuhanan masing-masing. Ini dapat dibuktikan dalam struktur pengurus pembinaan mental di DJBC yang terdiri dari komponen Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Keragaman agama dalam mencapai tujuan bersama organisasi ini benar-benar saya rasakan ruhnya saat bekerja di Kantor Wilayah DJBC Bali, NTB dan NTT tidak sebatas sebagai pegawai kantoran tetapi juga anggota masyarakat yang turut merasakan denyut aktivitas Pulau Dewata.

***

Akhir 2009, saya mendarat di Bali bersama Nenek dan Ibu. Itu adalah kedatangan pertama saya ke Bali. Sebelumnya saya hanya mengenal Bali dari cerita para pelancong. Mereka bilang Bali adalah kebebasan, wanita, alkohol, berhala, laut dan kemewahan. Saya mengaminkan semua itu dan menjadikanya kepercayaan.

Sejak kecil, saya biasa bergaul dengan teman yang memiliki kesamaan agama dan etnis. Agama dan kebiasaan yang terbentuk itu secara tidak sadar telah menjadi acuan kebenaran dalam memandang segala sesuatu. Maka timbul kegelisahan di dalam batin saat mengamati setiap sudut kehidupan di Bali. Semuanya hampir berbeda dengan agama dan kebiasaan asal saya. Mengapa ada banyak patung? Mengapa ada banyak sajen di jalanan? Mengapa ada dupa di pojok ruangan? Kenapa bar terbuka dan terlihat di jalan? Mengapa indekos tidak memisahkan penghuni pria dan wanita? Dan mengapa-mengapa lain yang menuntut jawaban pasti.

Bukannnya mencari jawaban dari orang Bali atau membaca buku tentang Bali, saya membatasi pergaulan hanya dengan pegawai dan masyarakat dari asal daerah dan agama yang sama. Sehingga, diam-diam saya menumpuk kecurigaan. Ide tentang negara teokrasi dengan undang-undang berbasis moral ilahiah sempat menjadi pegangan saya. Singkat pikir, hanya Islam lah yang memegang teguh sila pertama dari Pancasila. Agama-agama non monotheistik, apalagi yang memanifestasikan tuhan dalam sosok antrophormistik tidak pantas disebut pengamal pancasila yang sejati. Saya harus memurnikan Bali dari penyimpangan itu.

Hidup sebagai minoritas di Bali dengan kecurigaan seperti itu membuat hati saya sempit. Dimana-mana saya selalu menyalahkan sistem dan masyarakat. Tidak hanya kepada mereka yang berbeda agama, kepada sesama pegawai yang seagama pun namun dengan praktik ibadah yang berbeda saya kerap ribut. Zaman kegelapan itu berlangsung selama satu tahun. Untungnya, identitas itu cair, semua manusia pembelajar selalu dalam proses  menjadi.

Tahun-tahun berikutnya, saya banyak membaca filsafat. Yang paling berkesan adalah saat mendengar kuliah yang diampu oleh Prof. Bambang Sugiharto tentang  filsafat ilmu melalui DVD. Saya dijelaskan bahwa kepercayaan akan kemurnian adalah konyol. Agama itu murni dari level ilahiah namun saat ia turun ke bumi melalui para rasul dan disebar melewati ruang dan waktu akan selalu ada interpretasi terbuka yang disesuaikan dengan semangat zaman (zeitgeist). Oleh sebab itu, agama menjadi dinamis dengan tetap memperhatikan hal-hal yang prinsipil. Pikiran saya terbuka dan perkawanan dengan penganut  Hindu dimulai.

Saya menikmati perbincangan teologis dengan kawan Hindu di kantor. Ketika saya bertanya konsep ketuhanan seperti apakah yang dianut Hindu, mereka dapat menguraikan dengan rinci, sehingga saya menyimpulkan bahwa mereka pun tidak menyimpang dari sila pertama pancasila. Tidak berhenti sampai sana. Saya beberapa kali mengunjungi Pura kantor untuk melihat praktik keberagamaan mereka dan mengunjungi gereja katolik untuk memperhatikan kegiatan kepemudaan. Kunjungan itu membawa saya kepada kesadaran bahwa ada kenyataan lain tidak terbantahkan diluar praktik agama saya. Dan kenyataan itu bukan untuk ditiadakan tapi dipahami untuk mencari simpul-simpul kesamaan.

Dialog antar iman dan melihat langsung peribadatan pemeluk agama lain selama bertahun-tahun di Bali telah meningkatkan ambang toleransi . Saya tidak lagi risih dengan patung dewa-dewi yang bertebaran di setiap penjuru kota. Sajen (banten) dan dupa di sudut-sudut ruangan juga hal yang biasa. Setiap orang di setiap daerah memiliki cara menghayati pengalaman kebertuhanan mereka. Hal tersebut tidak terbatas antar agama, namun dalam spektrum satu agama. Praktik ini sangat terlihat dalam ajaran Hindu Bali yang mampu berdamai dengan mahdzab Syiwa, Wisnu dan Budha sekaligus.

Di kantor, tidak ada sekat antara dia yang Islam, dia yang Hindu atau dia yang Kristen. Semua pegawai bekerja saling tolong menolong sesuai tugas dan fungsinya.  Saat umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan,  kawan-kawan Islam dan Kristen dengan ikhlas membantu tugas pengawasan dan administrasi agar proses bisnis kantor tetap berjalan. Begitu juga ketika umat Islam dan Kristen merayakan hari raya, umat Hindu turut membantu tugas mereka di kantor. Keragaman dan kolaborasi yang dinamis inilah miniatur Indonesia dalam ikat semboyan bhineka tunggal ika.

Kebhinekaan ini sebenarnya lebih terasa diluar lingkungan kantor. Bali sebagi daerah eksotis yang terbuka sudah selama berabad-abad menerima perbedaan sebagai kenyataan. Perbedaan itu tidak saja berada dalam sekat-sekat, batas-batas yang tidak dapat dilampaui, namun mencapai titik akulturasi. Di beberapa daerah seperti Kuta dan Buleleng dapat ditemukan perkampungan muslim-bugis yang ternyata masyarakatnya dapat berbahasa Bali dengan fasih. Di Desa Adat Tuka yang mayoritas Katolik, penduduknya tetap menggunakan pakaian adat Bali saat kebaktian di katedral yang juga berarsitektur Bali. Di Ubud, gaya lukisan batuan yang khas terpengaruh aliran lukis moderen yang dibawa oleh Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Pelukis batuan dapat memadukan gaya klasik pewayangan dan gaya miniaturis modern sehingga menghasilkan lukisan hybrid yang khas dan berkesan magis. Pada kasus ini seni tidak berhenti di titik akulturasi tapi menembus hingga titik asimilasi.

Masih banyak contoh kolaborasi antar etnis, agama, atau aliran seni di lingkungan kantor maupun kehidupan masyarakat, tidak hanya di Bali akan tetapi di seluruh daerah penempatan para pegawai Kementerian Keuangan. Kolaborasi itu secara sporadis diberi label multikulturalisme di dalam pidato para pejabat. Namun, menurut Amartya Sen dalam bukunya “Kekerasan dan Identitas” dukungan lantang terhadap multikulturalisme akhir-akhir ini sesungguhnya tak sekedar pleodoi terhadap monokulturalisme majemuk. Sen menjelaskan, “Jika seorang gadis dari keluarga imigran konservatif hendak pergi kencan dengan cowoknya yang inggris, maka jelas ada inisiatif multikultural dalam hal ini. Sebaliknya, upaya orang tua sang gadis untuk mencegah dia berkencan sulit untuk bisa disebut sebagai sikap multikultural, sebab menjaga agar budaya masing-masing tetap terpisah. Multikulturalisme ditandai dengan bauran-bauran yang interaktif antar entitas yang berbeda. Dan dalam hal ini Kementerian Keuangan berhasil mewujudkannya sehingga dapat menjadi contoh satu padunya Indonesia dalam bingkai multikulturalisme.

Ferry Fadillah, 2019.
tulisan ini dimuat dalam buku “Perekat Indonesia” terbitan Kementerian Keuangan Tahun 2019

, , , , , , ,

1 Comment

Ayo Makan, Ma

Bocah itu membuka setengah kaca mobil. Air hujan membasahi wajahnya. Dinginnya menentramkan jiwa. Hutan pinus di pinggir jalan menebar aroma daun basah. Tanah yang diguyur air. Serangga-serangga yang bernyanyi di dahan mahoni.

“Boy, tutup kaca! Nanti basah baju kamu!”, perintah Ibu dari bangku depan. Sebelahnya Ayah sedang mengemudi. Pukul satu siang hari, kabut mulai turun dari gunung Sunda, menutup jalan menebar aura mistik.

Dua jam berlalu. Perjalanan yang sungguh menyenangkan. Di sepanjang jalan terhampar kebun teh. Warnanya hijau tua dengan galur jalan bagi para petani. Penjaja makanan ringan dengan rumah kayu berderet. Penjual tape, indomie, sate kelinci dan sate biawak. Di sebuah kampung, di puncak bukit, sebuah rumah sederhana berdiri, itulah tujuan kami.

Setibanya di sana, Ibu membuka perbekalan. Ada nasi merah yang masih hangat. Ikan terasi jambal roti. Tahu Yun Yi digoreng setengah matang. Sambal terasi mentah dengan air jeruk nipis. Ayam kampung goreng dengan serundeng penggugah selera. Kami bertiga berkumpul di teras rumah. Berdoa dimulai. Ibu menyuapiku. Sesekali bersenda gurau dengan ayah. Aku tidak paham apa yang mereka perbincangkan. Perutku sangat lapar. Hanya makanan dan alam yang membuatku diam.

***

Hujan deras mengguyur Kintamani. “Aduh, gimana sih sayang, kok kamu ngajak ke sini. Udah tau ujan!”, wanita sebelahku geram sepanjang perjalanan . Dia memang selalu begitu. Setiap keputusanku tidak pernah ia aminkan. Seperti para pendemo di depan istana Negara.

Aku jarang menjawab tuntas celotehannya. Sesekali aku melihat dan tersenyum kecut. Kalau amarahnya bertambah, aku hanya menjawab “iya, iya..” atau “Sabar yah, sayang” dan berdoa semoga Tuhan memberikan damai di dalam hatinya. Tapi ia tidak pernah diam. Ia selalu berbicara tanpa peduli kapan dan dimana.

“Kamu tuh ya kalau aku lagi ngomong dengerin kenapa sih. Daritadi iya.. iyaa.. doang. Udah bosen yah sama aku. Kalau bosen cari cewe lain aja. Dulu aja perhatian sama aku. Giliran udah bertahun-tahun pacaran kok jadi dingin gini sih. Ah, nyebelin!”

Aku malas menanggapinya. Aku biarkan celotehnya masuk ke telinga dan hilang dihempas melodi hujan. Pikiranku fokus ke jalan. Telat sebentar saja maka kabut dari Gunung Agung akan menutup keseluruhan kota. Jika sudah begitu kita hanya bisa duduk dan berdoa.

IMG_20170613_104529_314Sebenarnya ada yang aku sesali dari kisah cinta kami. Sejak kali pertama bertemu dengannya aku jadi jarang bertemu ibu. Setiap malam minggu ia selalu saja mengajakku ke bioskop, nonton konser musik atau makan di restauran jepang terkenal. Aku turuti semua ajakannya.

Tapi ada yang mengganjal di dalam hati. Setiap ia berbicara di depan meja makan atau duduk di bioskop, aku selalu membayangkan ibuku yang menjadi dia. Ibuku yang selalu tersenyum walau gurat tua sudah mulai mengakar di wajahnya. Ibuku yang selalu menanyakan kabar anaknya tanpa basa-basi cinta dan kata sayang. Ibuku yang selalu peduli dan cerewet itu.

Aku punya sebuah obsesi. Berkelana bersama Ibu dan ayahku. Mengajaknya keliling pulau-pulau di zamrud khatulistiwa ini. Berlayar dari Bali menuju Pulau Komodo. Bertemu ragam budaya, melihat Danau Kelimutu dan merasakan ragam kuliner. Atau mungkin kita berjalan menuju sebuah bukit, membuka bekal nasi merah dan merasakan suasana damai seperti kecil dulu. Dengan hujan, angin lembah dan bau tanah saat diguyur hujan.

***

Tujuanku sedikit lagi sampai. Mobil aku parkirkan di pinggir hutan. “Sayang, aku di mobil aja yah. Males ah becek kalau ke sana”. Tanpa menoleh aku mengiyakannya. Kemudian aku ambil perbekalan di bagasi. Nasi merah, ayam bakar, tahu dibungkus dengan daun pisang. Masih hangat-hangatnya. Aku berjalan dengan payung hitam di tangan kanan dan perbekalan di tangan kiri. Hutan pinus itu kini dipenuhi semak. Sesekali Aku melewati jalan tanah yang menjadi lengket oleh lumpur. Di sebelah utara dekat dengan hulu sungai ada sebuah pohon beringin besar. Di bawahnya ada gundukan tanah dengan batu nisan berwarna hitam. Aku duduk disamping batu itu.

“Ma, makasih ya selama ini udah baik sama, Boy. Ini Boy bawa makanan. Ayo, Ma, kita makan bareng”

Ferry Fadillah. Kuta, 13 Juni 2016

, , , ,

Leave a comment

Bung Karno :Penyambung Lidah Rakyat

2549396Judul Buku      : Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat

Pengarang      : Cindy Adams

Penerjemah    : Syamsu Hadi

Penerbit           : Yayasan Bung Karno dan Media Pressindo

Tahun Terbit    : 2007

Tebal Buku      : 415 halaman

Bung Karno adalah nama besar yang menjadi ingatan kolektif Bangsa Indonesia. Namanya diperbincangkan banyak kalangan; mulai dari sisi mistisme hingga pidatonya yang meledak-ledak. Banyak orang mengunjungi tempat kramat di selatan Pulau Jawa yang disebut-sebut sebagai petilasan Bung Besar ini, juga, banyak politisi meniru gaya berpakaian dan teknik berpidato beliau untuk meraup untung suara menjelang pemilihan umum.

Otobiografi ini tidak ditulis sendiri oleh Bung Karno, namun dibantu oleh wartawati kebangsaan Amerika Serikat, Cindy Adams. Mulanya Bung Besar keberatan, “Otobiografiku hanya mungkin jika ada keseimbangan (subjektifitas dan objektifitas –pen) antara keduanya.Sekian banyak yang baik-baik supaya dapat mengurangi egoku dan sekian banyak yang jelek-jelek agar orang mau membeli buku itu…Hanya setelah mati dunia ini dapat menimbang dengan jujur, apakah Sukarno manusia yang baik ataukah manusia yang buruk? (Adams : 16)”, namun karena dibujuk duta besar Amerika saat itu, dan kesadaran bahwa beliau sudah tua akhirnya beliau bersedia menuturkan kisahnya dalam sebuah otobiografi.

Buku yang ditulis dengan gaya berbicara Bung Karno itu merupakan perjalanan panjang beliau dari mulai dilahirkan saat fajar menyingsing, perjuangannya dengan kemiskinan di masa kolonialisme Belanda, ‘pertapaannya’ dari penjara ke penjara, pidatonya yang meledak-ledak di hadapan masa, proklamasi, agresi militer belanda hingga firasat akhirnya akan kematian.

Namun, buku ini lebih seperti konfirmasi atas pertanyaan-pertanyaan besar rakyat Indonesia : Apakah Bung Karno Seorang Komunis? Apakah Bung Karno seorang kolaborator Jepang? Apakah Bung Karno Seorang penggila wanita? Untuk apa membangun gedung-gedung mewah ketika rakyat merasa lapar? Mengapa berkonfrontasi dengan Malaysia? Mengapa keluar dari  Perserikatan Bangsa  Bangsa? Mengapa menerima bantuan dari Kremlin? Mengapa Bung menjadi Presiden seumur hidup? Yang bagi kebanyakan orang menimbulkan rasa benci yang tidak lagi proprosional.

Ambilah salah satu contoh konfirmasi Bung Karno dari pertanyaan, Untuk apa membangun gedung-gedung mewah ketika rakyat merasa lapar?

Banyak orang memiliki wawasan picik dengan mentalitas warung kelontong menghitung-hitung pengeluaran itu dan menuduhku menghambur-hamburkan uang rakyat. Ini semua bukan untuk keagunganku, tapi agar seluruh bangsaku dihargai oleh seluruh dunia. Seluruh negeriku membeku ketika mendengar Asian Games 1962 akan diselenggarakan di ibu kotanya. Kami lalu mendirikan stadion dengan atap melingkar yang tak ada duanya di dunia… Ya, memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi jiwa mereka yang tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebangaan –ini juga penting (Adams : 354)

Dengan membaca otobiografi ini seolah kita mendengar Bung Karno bertutur sendiri kepada kita. Seperti seorang bapak bijak yang memberi tahu alasan-alasan kebijakannya kepada sang anak, karena mungkin sang anak belum mengerti dan memang tujuan beliau menulis otobiografi ini adalah “agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia tercinta (Adams : 19)”

Bagaimana dengan pertanyaan besar : Apa sebenarnya haluan ideologi Sukarno? Tidak ada sebuah ideologi yang pantas disematkan kepada beliau. Ia seorang demokrat, seorang sosialis, seorang humanis, seorang nasionalis, seorang internasionalis dan seorang yang menjunjung tinggi Islam sebagai agama yang haq, namun menghargai semua agama-agama yang ada. Beliau sendiri menjelasan dirinya sendiri sebagai seorang pecinta dan individualis :

Sukarno adalah seorang individualis. Manusia yang angkuh dengan ego yang membakar-bakar, yang mengaku bahwa ia mencintai dirinya sendiri, tidak mungkin menjadi pengikut pihak lain (Adams : 354)

Cara yang mudah mengambarkan sosok Sukarno ialah dengan menyebutnya seorang maha pencinta. Dia mencintai negerinya, dia mencintai rakyatnya, dia mencintai perempuan, dia mencintai seni, dan di atas segala-galanya, dia mencintai dirinya sendiri. (Adams: 1)

Politik, ekonomi, cinta, perseteruan rumah tangga dan kegemaran Sang Proklamator akan ditemukan di dalam buku ini. Buku yang menjadikan sosok Bung Karno layaknya rakyat kebanyakan dengan kegemaran makan sate di pinggir jalan dan berbicara dengan bahasa daerah kepada petani miskin di wilayah priyangan. Bahkan perseteruan dengan istri-istrinya-pun beliau tulis di dalam buku ini. Pada saat kita selesai membaca mungkin kita akan tertegun sejenak dan berpikir : tidak ada pemimpin republik yang pantas mengantikan posisi Bung Karno, Sang Penyambung Lidah Rakyat.

Selamat Membaca!

Ferry Fadillah. Bintaro, 21 Maret 2015.

, , , , , , ,

Leave a comment

Matinya Intelektualitas

Aku memberi kesaksian,

Bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai

Filsafat mati

Dan penghayatan kenyatataan dikekang

Diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi.

Kepatuhan diutamakan,

Kesangsian dianggap durhaka.

Dan pertanyaan-pertanyaan

Dianggap pembangkangan.

Pembodohan bangsa akan terjadi

Karena nalar dicurigai dan diawasi.

Penggalan Syair W.S. Rendra berjudul Kesaksian Mastodon-Mastodon (1973)

***

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dipuja-puja, disanjung-sanjung, dieluk-elukan, kata orang, sekolah ini sekolah favorit, sekolah papan atas, incaran para lulusan sekolah menengah atas. Tunggu dulu? Apa yang mereka cari dari sekolah ini?

Jelas. Tujuan material adalah tujuan mereka. Sebab, konsekuensi lulus dari dari STAN adalah diangkatnya menjadi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan. Nasib mereka akan berubah. Tingkat pengangguran di Indonesia akan berkurang. Dan tentu bertambah juga kelas menengah  se-antero Indonesia. Masalahnya adalah, apakah lulusan STAN telah benar-benar insyaf akan dirinya sendiri dan kelak untuk siapa mereka bekerja (baca : berjuang)? Kita harus tilik kembali ke dalam kehidupan kampus dibilangan bintaro ini.

Matinya Intelektualitas

Sekolah para akuntan, pemungut pajak, penilai dan ekonom ini menawarkan subjek-subjek ilmu pengetahuan yang menarik. Ekonomi Mikro, Ekonomi Makro, Akuntansi, Ilmu Hukum, Keuangan Publik, Hukum Keuangan Negara dan puluhan ilmu pengetahuan lain yang berbeda di setiap prodi.

Saya yakin, semua Mahasiswa, berlomba-lomba untuk memahami itu semua. Mereka akan belajar keras menjelang ujian, berusaha untuk menghapal semua slide yang diberikan oleh dosen di kelas. Sayang, saya sempat kecewa –mohon maaf- ketika melontarkan kritik atas cara penyampaian seorang dosen ekonomi dihadapan teman sekelas. “Sudah, cara dosen menyampaikan materi tidak perlu digubris, yang penting dia baik memberi nilai”, celoteh seorang teman.

Miris. Apakah ini cara berpikir semua mahasiswa STAN? Saya harap hanya satu dua orang berpikir seperti ini. Kalau sampai semua anak STAN berpikir seperti ini, maka benar-benar intelektualitas telah mati di kampus yang katanya favorit ini.

Mereka yang Lupa

Saya bukan seorang pakar pendidikan, apalagi professor sebuah perguruan tinggi. Saya hanyalah mahasiswa yang rindu akan hingar bingar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang seharusnya mencetak mahasiswa menjadi kritis, progresif dan revolusioiner.

Mahasiswa kelak selalu mempertanyakan status quo. Mengapa ini seperti ini? Mengapa tidak seharusnya seperti itu? Pertanyaan yang berulang atas segala sesuatu yang orang awam anggap sebagai kewajaran adalah perlu untuk menciptakan inovasi-inovasi, perubahan dunia menuju kemapanan di segala bidang.

Ketika ilmu pengetahuan hanya dihapal kemudian dijadikan capital memperoleh ijazah agar kelak bekerja tenang di lingkungan pemerintahan, maka sesungguhnya mahasiswa telah melacurkan intelektualitas mereka sendiri.

Pola pikir pragmatis seperti ini hanya akan melahirkan birokrat muda yang sibuk mengisi kantongnya dengan pundi-pundi gaji. Mereka malas berpikir, yang terpenting adalah mengikuti instruksi atasan dan bermuka  manis atas setiap perintah dengan harapan pengharggaan berupa : kedudukan.

Saat ini semua terjadi, mahasiswa yang telah menjadi birokrat muda itu telah lupa bahwa mereka adalah bagian dari rakyat. Rakyat yang kesusahan setiap hari karena harus ditindih oleh kebijakan pemerintah yang mengakibatkan kemiskinan struktural. Rakyat yang terus meratap dan berdoa kemudian dinina bobokan dengan janji pahala kesabaran dan imbalan surga yang kemudian lupa untuk menuntuk hak-hak mereka atas hidup dan penghidupan.

Menjadi Intelektual

Intelektualitas berarti kita insyaf bahwa semua ilmu pengetahuan yang kita pelajari di bangku kuliah adalah untuk memperkuat daya kritis kita dan mensejahterakan mereka yang marjinal. Leon Trotsky pernah berkata, “The intellectual wants to rise above capitalist mental oppression, the academics are capitalist mental oppression”

Maka yang kita perlukan agar tetap berpihak kepada rakyat adalah mejadi seorang intelektual. Menjadikan ilmu pengetahuan yang kita dalami di kampus sebagai amunisi yang kelak membebaskan tetangga kita, orang satu daerah dengan kita, rakyat di tempat penempatan kelak, merdeka semerdek-merdekanya dengan membuka mata mereka akan hak-hak mereka dihadapan para penguasa.

Ketika filsafat hidup, dan penghayatan akan kenyataan dibebaskan, saya yakin mahasiswa STAN yang kelak menjadi birokrat muda, yang tersebar seantero Nusantara, yang jumlahnya beribu-ribu itu, dengan tegas dan gagah akan mengatakan tidak atas segala kelaliman siapapun juga.Ingat : Vox Populi Vox ‘Dei’!

Ferry Fadillah, dimuat dalam Warta Kampus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Edisi 27, Januari 2015.

, , , ,

Leave a comment

Lansekap Subak Catur Angga Batukaru

“hijau”

“takjub”

“konyol”

Yah, anak kota  -walaupun berasal dari desa- tetap saja kehidupan kota lebih dominan di dalam otak mereka. Dari pagi hingga malam hanya tembok, gedung, dan komputer yang mereka hadapi. Semua mati, tidak menyejukan dan membuat gersang jiwa.

Sesekali mereka keluar bersama kawan dan sahabat  menuju utara Bali yang masih tenang dan bersih. Tabanan tujuannya. Terhampar lansekap terasering yang menghijau, hijau yang berbeda dari sawah-sawah yang mereka temukan di Pulau Jawa. Di sini ada alam, kepercayaan dan sosial kemasyarakatan. Semua bersatu, saling melengkapi satu-sama lain. Tri Hita Kirana mereka sebut.

Bentang Lansekap Budaya Provinsi Bali : Sistem Subak sebagai manifestasi filosofi Tri Hita Karana, merupakan kesatuan kawasan yang meliputi Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, Lansekap Subak dan Pura pada DAS pakerisan, Caturangga batukaru dan Pura Taman Ayun, telah ditetapkan dalam Daftar Warisan Dunia atas dasar Konvensi tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia. Penetapan dalam Daftar Warisan Dunia menegaskan bahwa kawasan budaya atau alam yang memiliki nilai universal yang luar biasa, layak mendapatkan perlindungan untuk kemanfaatan bagi seluruh umat manusia. (Tulisan pada Tugu UNESCO, Jatiluwih, Tabanan, Bali)

Ferry Fadillah
18 Oktober 2012

, , , ,

Leave a comment

Perjalanan Menakjubkan : Nusa Penida, Nusa Lembongan

Perkenankanlah saya bercerita sedikit tentang sebuah perjalanan wisata yang tak terlupakan.

Bosan setelah mengitari Pulau Bali secara rutin (sabtu, minggu, atau hari besar lainnya) saya mulai tertarik untuk mengunjungi sebuah pulau kecil di tenggara pulau Bali yakni Nusa Penida. Pulau yang secara administrasi masuk ke dalam wilayah Kabupaten Klungkung ini sangat berbeda dengan daerah Bali pada umumnya. Di sini lah saya menemukan suasana Bali yang lain daripada yang lain.

***

“Deretan Perahu Nelayan di Nusa Penida, Klungkung, Bali”

Lebih kurang dua jam perjalanan dari Tuban, Badung menuju Pelabuhan Padangbay menggunakan motor, saya dan teman-teman harus rela antre membeli tiket penyebrangan ke Nusa Penida. Maklum pada saat itu banyak sekali masyarakat Bali yang akan ke sana. Dilihat dari pakaian dan barang bawaan, mereka sepertinya akan sembahyang bersama keluarga.

Entah mengapa, kapal ferry yang kami tumpangi sangat penuh sesak. Orang-orang duduk dimana-mana, bahkan ada yang tidur di depan kamar kecil, namun tetap hal ini tidak menyurutkan niat kami untuk mengorek lebih lanjut pulau di hadapan kami. Solusi dari permasalahan ini hanya satu, tidur pulas tidak mempedulikan sekitar.

Satu setengah jam sudah kami terombang-ambing di selat Bali yang indah dan tenang. Sesampainya di Nusa Penida kami terheran-heran. Sepi sekali Pulau ini. Dimana penginapan? Dimana pusat perbelanjaan? Tidak mau terbelit pertanyaan anak kota, kita langsung tancap gas menuju ke arah utara.

Berdasarkan peta Provinsi Bali yang selalu saya tempel di kamar tidur, Nusa Penida memiliki tiga potensi wisata, pantai yang masih perawan, tebing ekstrim yang mengagumkan dan air terjun yang indah. Akhirnya, kami sepakat untuk mencari air terjun terdekat dengan modal : bertanya kepada penduduk sekitar.

Mata Air Guyangan

Sudah kurang lebih setengah jam kita berjalan menuju arah yang sama sekali tidak kita ketahui. Bertanya dari satu desa ke desa lain dan pada akhirnya tibalah kami pada jalan buntu dengan gapura kecil yang menantang untuk dimasuki.

“Pemandangan dari pintu masuk Mata Air Guyangan, Nusa Penida”

Herannya, tidak ada sepanduk tempat wisata di sini, tidak ada pedagang souvenir, tidak ada petugas penjaga. Kami dekati lagi tulisan kecil di atas gapura, di sana tertulis JALAN INSPEKSI MATA AIR GUYANGAN. Mata air? Jadi selama ini yang dianggap air terjun adalah mata air ini. Tidak mau saling menyalahkan kami segera masuk ke dalam gapura.

Alangkah terkejutnya kami ketika melihat pemandangan yang ekstrim. Laut lepas yang begitu indah, dan ternyata kita berada di atas tebing curam. Satu-satunya jalan untuk menempuh mata air adalah dengan menyusuri tangga besi curam yang dibuat ‘tidak ramah wisatawan’. Dengan tekad baja dan hati besi kami telusuri jalan inspeksi tersebut, rasa takut, dan cemas, selalu saja dapat kami atasi ketika melihat pemandangan menakjubkan dari setiap sudut. Tentu saja kami masih bisa mengabadikan momen tersebut dengan kamera.

Mata Air Buyangan sendiri tidak lebih dari sebuah mata air, tidak kurang tidak lebih. Yang kami syukuri dari perjalanan ini adalah proses untuk menuju mata air ini. Penuh perjuangan dan kecemasan. Sehingga keheranan kami  di gapura masuk sudah terbayar. Namun satu hal yang masih mengusik hati kami, ‘Apa benar tempat ini lokasi wisata?’

Nusa Lembongan

“Bungalow tempat kami menginap”

Matahari sudah akan terbenam, kami bergegas menuju Toyapakeh, utara Pulau Penida, disana kami berencana menyimpan motor dan melanjutkan perjalanan ke Nusa Lembongan menggunakan jukung. Dengan biaya Rp 100.000,00 per orang, seorang penduduk setempat mengantar kami sampai ke bawah jembatan antara Pulau Lembongan dan Ceningan. Sayang waktu itu malam, kami tidak dapat menikmati keindahan laut di antara dua pulau ini, yang dapat kami lihat hanya gelombang ekstrim dan ikan yang meloncat-loncat.

Di Pulau Lembongan kami menggunakan jasa ojek untuk mencari penginapan terdekat. Karena momen tersebut harus dijadikan momen terindah (dalam sejarah kepariwisataan kami), kami memutuskan untuk menginap di sebuah bungalow yang terbuat dari kayu. Dengan harga nego Rp 250.000 per malam, sang empunya mempersilahkan kami masuk dan merebahkan diri.

Keesokan harinya, kami semua malas untuk bangkit, maklum suasananya begitu tenang, tanpa ada polusi udara. Kami habiskan waktu di sini untuk berenang, membaca buku, dan ngobrol ngalor ngidul. Tidak lupa juga kami mengunjungi Pantai yang terkenal di sini, Mushroom Beach.

Sepintas pantai ini mirip dengan Pantai Balangan di Nusa Dua, Bali. Namun tentu saja berbeda jika kita lihat lebih jauh. Terlepas dari itu semua, poin tambah dari pantai ini adalah tingkat pengunjung yang masih rendah, sepi, sehingga anda dapat berjemur ria atau berfoto ria tanpa harus malu dilihat orang.

Kembali ke Bali dengan Jukung!

“Terima kasih bapak-bapak!”

Puas sudah rasanya kami di Pulau kecil tersebut dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke Nusa Penida. Ini hari minggu pukul 12.00 WITA dan kami harus segera ke pelabuhan untuk membeli tiket ferry. Nahas, pelabuhan sepi, tidak ada penumpang maupun kapal. Usut punya usut ternyata kapal ferry menuju Bali rusak di Lombok dan kapal tersebut baru bisa beroperas besok pagi, hari senin!

Mungkin beberapa kawan memiliki integritas tinggi terhadap pekerjaan, dengan tergesa-gesa kita mencari speedboat terdekat. Sialnya, semua speedboat tidak menerima kami membawa motor. Ini hanya untuk penumpang bung!

Untungnya seorang ibu pedagang nasi menyarankan untuk menyewa jukung. Waktu itu kita banyak pertimbangan, apalagi setelah melihat kondisi air laut yang mulau bergelombang. Tapi entah mengapa, kita semua sepakat untuk melanjutkan perjalanan ke Bali melalui laut bergelombang menggunakan jukung.

Penduduk sekitar membantu kami mengangkat dua motor ke dalam jukung. Jukung oleng, pun motor kami, mau tidak mau kami harus memegangi motor sampai ke tujuan. Dengan bismillah, kami berangkat.

Ternyata benar, ombak begitu besar, kami pasrah, mau berbuat apa lagi. Air laut terciprat ke wajah kami, sesekali masuk ke dalam jukung. Kami pegangi terus  motor kami, agar tidak nahas jatuh ke laut.

Setelah beberapa menit perjalanan kami sedikit lega, ada pantai di sana! Beberapa orang dengan sigap menanti kedatangan kami, membantu mengangkat motor dan barang bawaan terakhir menagih bayaran atas jasa mereka.

“Dimana ini pak?”, tanya kami.

“Pantai Kusamba, mas”

Ferry Fadillah
Bali, 14 September 2012
 
Foto-foto:
“Tangga terjal menuju Mata Air Buyangan, Nusa Penida”

“Jembatan Kuning yang menghubungkan Pulau Ceningan dengan Pulau Lembongan”

 

 

 

, , , , , , ,

3 Comments