Pandemi

Aku menghadapi pandemi tidak berkesudahan. 2 tahun berlalu dan orang masih mampus saja karena virus. Pemerintah tampak gelagapan. Rakyat marah. Bagaimana bisa berdiam dirumah jika lambung terus kosong. Hari-hari adalah berita penuh pendapat konyol para pejabat. Orang berpikir mereka brengsek. Cuman hanya kata-kata itu saja yang dapat meletup di depan TV. Selebihnya kita semua harus hati-hati. Undang-Undang ITE siap memamah biak siapa saja.

Pekerja kantoran berkutat dan satu pertemuan virtual ke pertemuan virtual lain. Tentang program kerja dan evaluasi-evaluasi. Dengan kamar, koneksi internet dan pendingin ruangan. Hidup yang begitu menyenangkan. Sesekali video dimatikan untuk sarapan, ngopi atau ngemong anak yang sedang rewel. Adapun gaji tidak menjadi masalah. Ia akan tetap mengucur. Karena kerja virtual sama juga kerja fisik. Ia menuntut pengorbanan waktu luang yang manusia miliki.

Maka bagi pekerja kantoran, rumah adalah ruang kerja, ruang keluarga sekaligus penjara. Setiap hari mereka terjebak dalam rutinitas yang sama. Antara urusan klerikal dan rumah tangga. Petualang antar kota, antar provinsi yang biasanya menggunakan uang kantor harus rem dulu. Hiburan semata-mata layar komputer atau gawai. Dari satu citra feed instagram ke instastory, berita detik, podcast atau mendengar tukang sayur lewat diselingi tahu bulat dan gemerisik penggorengannya.

Dalam rutinitas yang tampak bak tahanan itu orang menerka-nerka kapan kehidupan akan kembali normal. Hari-hari indah sebelum pandemi. Mobilitas yang asyik. PDB yang tinggi. Kepadatan di pusat kota dan buruh-buruh yang lalu lalang antara pinggiran ke pusat industri. Tapi tampaknya 2 tahun sikap menerka-nerka itu sirna sudah. Orang-orang sudah terbiasa menjadi tahanan fisik di rumahnya masing-masing. Untungnya kapitalisme menyuguhkan berbagai macam hiburan yang dapat diakses dengan murah. Hari akan berlalu dengan cepat. Pikiran tidak akan sempat berpikir tentang makna hidup atau hal-hal mengenai makna. Kita sudah terbiasa mengurus tetek bengek tanpa perlu makna itu sendiri.

Ferry Fadillah. Jakarta. Juli, 2021.

  1. Leave a comment

Leave a comment