Stasiun

Dalam sebuah perjalanan, aku mendapat kabar: Patriot akan segera menikah. Seharusnya aku hadir di sana. Menjadi saksi sebuah tonggak sejarah. Awal dari tumbuhnya peradaban. Namun, jarak, waktu, dan kesempatan berkata lain. Aku harus memendam dalam-dalam keinginanku itu.

Dari prosesi yang aku amati dari jauh itu. Aku melihat wajah-wajah ceria dalam citra fotografi. Ada senyuman, ada kebahagiaan dan ada keceriaan. Tapi, dari sorot mata setiap orang muncul pertanyaan, “Mengapa hari ini datang begitu cepat?”

Belum tenggelam dalam ingatan. Gerombolan anak SMA yang lebih banyak bermain dibanding belajar. Setiap malam dihabiskan dengan bermain Pro Evolution Soccer, Tekken 3, Guitar Hero dan ngobrol ngalor ngidul hingga larut malam. Siapa sangka, kesia-siaan itu merajut sebuah tali persaudaraan yang tidak lekang oleh waktu dan tidak bisa dianggap sia-sia.

Sebenarnya, episode-episode dalam hidup ini seperti jejeran stasiun kereta yang terbentang sejauh 225 km dari Semarang ke Bandung. Pada mulanya kita akan bertemu orang baru di stasiun awal. Senyum dan sapa mencairkan suasana. Terjalinlah obrolan sepanjang perjalanan. Timbulah keakraban. Kemudian petugas kereta memberitahukan. Bahwa sebentar lagi akan memasuki stasiun Pekalongan. Mungkin itu tujuan orang itu. Segera saja kita berpamitan. Membalas senyum dan melihat kursi di sebelah menjadi kosong.

Selang beberapa menit akan ada orang lain yang mengisi kursi itu. Pertama kita kikuk. Seperti biasa, senyum  dan salam akan mencairkan suasana. Obrolan kembali terjalin. Keakraban terjadi dan pengumuman berbunyi. Kereta mendekati stasiun Cirebon. Orang tadi berkemas dan menyalami tangan kita. Dan kursi itu kembali kosong.

Tidak selamanya kursi itu terisi. Ada saat-saat aku tinggal dalam kesendirian. Tanpa pemandangan (ini malam!), teman mengobrol atau majalah untuk dibaca, yang ada hanya suara roda kereta yang bergesekan dengan rel, gedebuk pintu yang terbuka tutup dan tv yang menyala tanpa suara. Hingga tujuan akhir dicapai, bisa jadi, kesendirian itu tetap bertengger.

Persis seperti kehidupan. Awalnya kita bertemu teman baru. Beberapa diantara mereka menjadi sahabat. Namun, saat tujuan-tujuan mereka terpenuhi, mereka akan sulit ditemui. Dan akan muncul kawan-kawan baru. Mereka akan hilang saat tujuan-tujuan mereka terpenuhi. Begitu seterusnya, hingga sekian tahun menuju tujuan akhir kita. Saat tubuh sudah menua dan anak-anak sudah dewasa, kita akan menemui kesendirian. Hanya jiwa dan tubuh yang merapuh. Mungkin dibilik kamar. Mungkin juga di rumah sakit. Dan tv tanpa suara di gerbong itu. Adalah kenangan indah yang selalu membuat kita tersenyum.

Ferry Fadillah. Tawang, 26 Maret 2017.

  1. #1 by SZ on March 28, 2017 - 14:55

    Dari tulisan, didapatkan kesan penulis mencari sesuatu, apakah itu ?

Leave a comment