Kehilangan Nurani

Mulutnya terluka, sobek,  duri-duri kecil tertancap di porinya, tapi ekspresinya datar, begitu datar sampai orang mengira ia sudah mati. Semua yang melihatnya merasa ngeri, takut, bercampur rasa kasihan dan jijik. Ternyata, sejalan dengan hukum alam, sebagian besar orang berlalu begitu saja, dan berusaha menghilangkan pemandangan menjijikan itu dari benak mereka.

Hari sudah malam, toko-toko sudah menutupkan pintunya rapat-rapat, agar pencuri tidak bisa mengambil dagangannya. Ia meronta kedinginan, mengetok pintu-pintu toko, memohon tempat berlindung hanya untuk satu malam, dan minuman hangat untuk menghangatkan tubuhnya, tapi hasilnya nihil, semua penduduk kota seolah membisu, kehilangan nurani.

Bulan purnama muncul, cahayanya menjadi penghibur lara bagi si durjana, tapi tetap saja, kondisi biologisnya yang setengah hancur telah membuat jiwanya terluka. Terluka seberat-beratnya, tanpa ada cinta, kasih, dan persahabatan yang menemani.

***

Keesokan paginya, ketika sang mentari menyapu atap-atap rumah, semua orang mulai keluar dari kemewahannya. Menghirup udara segar dan bergerak melancarkan persendian. Namun hari ini berbeda, bau amis tercium dimana-mana, semua heran, saling melirik dan menduga-duga. Dikejauhan, dijalan buntu yang dipenuhi sampah dan tumbuhan liar berkumpul banyak orang, posisinya angkuh, sebagian terkejut dan sebagian menangis. Kini semua tahu asal mula bau amis itu, karena semua tertuju pada sang durjana yang datar, kaku dan membiru. Pergi ia ke alam sana, meninggalkan dunia yang telah kehilangan nurani.

Badung, Saat Hujan

  1. Leave a comment

Leave a comment