Aku Ingin Menjadi, Tapi Malah Menjadi

Oleh FERRY FADILLAH

Aku terlahir dari keluarga yang biasa saja. Tapi begitu amat bersyukur karena dikaruniai seorang ayah yang amat ikhlas membanting tulang demi menghidupi keluarganya dan seorang ibu yang amat teguh dalam mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi insan yang berguna bagi agama dan bangsa. Hampir setiap hari kebutuhan kami dipenuhi secara pas-pasan, tidak lebih dan tidak kurang. Yang terkadang keadaan inilah yang membuat aku iri melihat orang bergelimang kemegahan berjalan angkuh di sudut-sudut Kota Bandung yang dingin dan indah itu.

Sepertinya semua anak laki-laki di bumi nusantara ini, terlebih mereka yang ditakdirkan untuk terlahir dari keluarga yang pas-pasan maupun serba kekurangan, pasti memiliki harapan untuk meringankan beban kedua orang tua. Ditanamkanlah cita-cita mereka semenjak kecil. Ingin menjadi dokter, ingin menjadi insinyur, ingin menjadi pramugara, ingin menjadi pilot, ingin menjadi pengusaha. Kelak harapan-harapan tersebut menjadi kisah emasnya di masa tua dan bagi sebagian orang harapan-harapan tersebut hanya akan menjadi isapan jempol belaka, karena keputusasaanya dalam menerima realita.

Mereka yang dikatakan sukses biasanya berjalan pongah di jalan-jalan kota, menebar harum parfum berharga jutaan dengan berjubahkan baju seharga kiloan emas. Sepatunya senantiasa berkilap dan diwajahnya tidak terlihat tanda-tanda kuyu maupun layu. Tapi mereka bekerja tidak sembarang bekerja, mereka bekerja sepenuh hati. Mencurahkan segala tenaga dan pikiran bagi pekerjaan mereka. Terkadang mereka terlantarkan buah hati dan istrinya untuk mengejar kesenangan dunia : harta. Tidak ada yang melarang memang, tapi hal ini terjadi begitu saja membuat anak dan istri yang ditinggalkan merasa kekurangan curahan kasih sayang dari seorang lelaki. Tidak jarang, kehidupan rumah tangga yang diikat tali suci  pernikahan harus mau menelan api ketidak akuran yang berujung pada perceraian. Dan anak-anaklah yang pada akhirnya menjadi korban.

Mereka yang dikatakan tidak sukses mudah sekali dideteksi oleh indera orang-orang awam. Tanpa melihat keanggunan pribadinya dan keikhlasan perjuangannya, mereka yang berbaju kusut, berwajah kusam, dan berbau ikan sepat selalu dianggap sebagai orang yang tidak sukses. Terlebih lagi jika curahan tenaga dan pikiran mereka  hanya mengasilkan harta yang pas untuk makan hari itu juga, tidak lebih dan tidak kurang. Sepertinya begitu menyulitkan memang, tapi tahukan bahwa dari kesulitan itu biasanya mereka tumbuh menjadi pribadi yang unggul. Mereka mempunya anak, dan mereka juga mempunyai waktu yang banyak bagi anaknya. Maka tidak salah jika anak-anak dari jiwa-jiwa yang selalu dilanda kesulitan akan lebih unggul dalam bidang akademik. Karena curahan kasih sayang orang tualah hal itu terjadi. Mau bukti ? lihat saja mereka yng sekarang dikenal sukses, banyak dari mereka yang dahulu berasal dari keluarga buruh tani, nelayan dan bahkan gelandangan.

***

Melihat keduanya, aku hanya mematung dan terdiam. Merenung sejenak, dan menerawang jauh ke masa depan yang tidak akan pernah aku ketahui. Tiba-tiba saja hembusan angin inspirasi datang menerpa otaku. Pengusaha! Ya, pengusaha. Aku putuskan menjadi pengusaha setelah melihat realita-realita kehidupan di atas. Aku mulai mencintai kehidupan menjadi pengusaha ini sejak SMA. Aku hampir sering terlibat dalam usaha kecil-kecilan ibuku dan mengamati hal penting se-saksama mungkin. Cara bicaranya, cara menarik hati consumer, cara menghitung keuntungan, dan cara menaikan harga.

Sebenarnya impian ini datang ketika aku mengetahui bahwa seorang pengusaha mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk memiliki penghasikan tetap tanpa bekerja sekalipun. Hal inilah yang aku idam-idamkan, bukankah dengan demikian aku bisa mencapai kemewahan dan tidak akan mengurangi sedikitpun curahan kasih sayang kepada istri dan anak tercinta kelak. Belum lagi junjungan ku, Nabi Muhammad adalah seorang pengusaha juga. Ia rajin, jujur, dan ramah. Hal ini lah yang membuatku begitu menggebu-gebu untuk menggeluti profesi ini.

Disaat SMA dulu, sangat besar keinginanku untuk menuntut ilmu di Institut Teknologi Bandung Fakultas Teknik Industri. Aku sangat haus akan ilmu itu, tentu saja karena ilmunya berhubungan dengan kewirausahaan. Sebuah gerbang baru menuju kebebasan finansial. Maka tidak heran, jika berjilid-jilid buku soal aku lahap, berlembar-lembar kata motivasi aku santap, hanya demi duduk di sebuah tempat kuliah bergengsi tersebut. Sampai tiba saat yang ditunggu datang. SNMPTN.

Soal  demi soal aku kerjakan. Keringat bercucuran memenuhi pelipis kanan dan kiri, membasahi kerah dan nyaris jatuh ke Lembar Jawab Komputer. Ruwet, pusing, ngejelimet, lalieur. Itulah serangkaian kata yang menggambarkan soal-soal SNMPTN. Dan kekhawatiran selama mengerjakan itu telah menjadi kekhawatiran ku pula ketika waktu pengumuman tiba. Tidak jauh firasat dari buktinya. Mau dikata apa lagi, tidak satu pun dari pilihan ku dalam SNMPTN yang goal. Semuanya amblas, blas, terbang ke awang-awang dan menutupi cahaya harapan yang sudah lama aku bangun.

Untung saja aku sudah jauh-jauh hari mendaftarkan diri ke sekolah teknik swasta di kota bandung. Dengan fakultas yang sama, tapi kurang gregetnya. Aku pun mendapati mahasiswa yang senasib sepenanggungan disana, terlihat dalam wajah-wajah lelah mereka : pesimis akibat kekalahan di medan perang. Memang sarana dan prasarana yang ada begitu memukai. Tapi ada satu permasalah klasik : mahalnya biaya pendidikan.

Sialnya lagi pada saat yang bersamaan aku harus rela melihat ayah kandung ku sendiri ditimpa musibah. Bukan musibah yang merenggut nyawa tapi musibah yang tidak dapat aku ceritakan disini. Yang pasti hal tersebut telah mengguncang sendi-sendi perekonomian keluarga. Dalam kata lain, dari pas-pasan menjadi serba kekuarangan.

Perlahan demi perlahan impianku untuk menjadi pengusaha tertimbun pasir-pasir keadaan yang begitu memaksa. Realita yang begitu pahit untuk dikemukakan tetapi begitu harus dihadapi dengan gagah berani. Dengan serba kekurangan mana bisa seorang manusia berkuliah di tempat wah dengan biaya pendidikan yang mewah. Dengan serba kekurangan mana bisa seorang manusia membuat sebuah usaha yang dapat menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Semuanya pupus, urung niat ku menjadi pengusaha.

God always have his own way. Begitulah orang-orang bijak bilang, meskipun aku tidak terlalu paham betul apa maksudnya. Tapi dua minggu setelah kegetiran melanda hati ku ini, sebuah pengumuman berformat pdf telah membuatku terenyuh dan menyadari kasih sayang Tuhan. Ya, pada saat itu aku diterima di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Sekolah yang mewajibkan lulusannya bekerja di lingkungan kementrian keuangan ini telah menjamin biaya pendidikan semua mahasiswanya. Kabar ini pun terdengar ibuku, air matanya keluar dari wajahnya yang masih halus.

“Nak katanya kamu mau jadi pengusaha, sekarang kamu diterima di STAN, mana yang mau kamu pilih ?”, tuturnya dengan wajah penuh haru.

“STAN aja, mah. Biar bisa lebih hemat pengeluaran mamah”, jawabku dengan nada sedikit kurang ikhlas. Terpaksa keadaan.

Padahal sedari dulu aku tidak begitu menginginkan pekerjaan menjadi PNS. Karena aku tidak menemukan kebebasan, setiap hari terpatok oleh Peraturan, Keputusan, Undang-undang, SOP dan lain sebagainya. Memusingkan dan menuakan hidupku dalam ketidak bebasan. Belum lagi pendapat orang-orang mengenai profesi ini, korupsi lah, suka bolos lah, celamitan duit lah. Tapi ya ini lah nasib. Dan aku pun mau tidak mau harus memulainya, menjadi bibit-bibit PNS yang nantinya dipekerjakan sebagai buruh di kebun-kebun pemerintah (istilah buatan-pen). Toh setelah berkenalan dengan dunia yang tidak pernah saya impikan sebelumnya, kata-kata orang tersebut tidak terbukti. Karena tidak semua PNS di semua instansi seperti itu. Masih ada mereka yang jujur dan benar-benar berbakti kepada negara. Jika tidak, tentu negara ini sudah hilang dari enslikopedia sejak dulu.

***

Sejak itu saya paham bahwa Tuhan memang memiliki jalan tersendiri bagi setiap makhlukNya. Walaupun itu terasa pahit, tapi jika kita mau untuk mengurai makna yang berada dibaliknya, hidup ini akan terasa begitu indah. Dan saya percaya itu.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan

boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;

Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 216)

, , ,

  1. #1 by fery irawan on October 12, 2010 - 13:19

    mantappp/….kunjungi blog saya untuk mendapatkan aneka ebook yang lain dan keren2

  2. #3 by Tiara on November 28, 2010 - 00:38

    allah memberikan apa yang kita butuh kan…bukan apa yang kita ingin kan… ^__^

  3. #5 by Angga on December 2, 2010 - 21:22

    Hmm begitu ceritanya… hehehehe…
    Hampir sama tapi tak serupa… wkwkwkkwkwk…
    Yang penting syukuri aja yang ada dan di setiap kejadian selalu ada hikmah yang akan bisa kita petik.

Leave a reply to Ferry Fadillah Cancel reply